A.
SELONG
Selong adalah sebuah kota yang juga
sekaligus merupakan ibu kota kabupaten Lombok Timur, provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara
geografis Selong terletak pada 8°38′LU 116°32′BT dengan luas daerah sekitar 81,25 km². Transportasi di dalam kota ini didominasi oleh angkot (angkutan
kota) untuk jalur utama (dan hingga saat, maret 2006 ini hanya terdapat satu
jalur angkot), dan cidomo untuk daerah kompleks dan sentra
ekonomi rakyat (cth:pasar).
1. Tempat-tempat Umum
a. Masjid
Agung Al-Mujahidin
Masjid agung Al-Mujahidin adalah
masjid terbesar di Lombok Timur.
b. Taman Kota
Selong
Taman Kota
Selong yang terletak di jalan TGKH. Muh. Zainuddin Abdul Majid, dulu jalan
Pahlawan, dibangun untuk menambah keindahan kota sekaligus berfungsi sebagai
paru-paru kota. Pada pagi hari terutama hari minggu penduduk sekitar banyak
yang memanfaatkannya untuk jogging maupun senam. Pada sore dan malam hari,
areal parkir taman ini diisi oleh para pedagang makanan dan menjadi tempat
'nongkrong' anak-anak muda. Sebelah selatan taman kota Selong terdapat hutan
kota yang semakin menambah keindahan kota selong. Ditengah-tengah terdapat
bangunan Gedung Wanita yang diperuntukkan sebagai tempat pelaksanaan
event-event besar seperti pameran buku-buku, perayaan pesta perkawinan,
pertandingan olah raga (bulu tangkis) dan lain-lain. Sebelah timur gedung
wanita terdapat lapangan parkir dan dari pagi sampai sore hari diisi oleh
pedagang es kelapa muda dan arena bermain anak-anak. Penduduk sekitar Selong
mempergunakan tempat ini untuk melepas lelah dan bercengkerama dengan
keluarganya.
c. Alun-alun
Tugu Pancasila Kota Selong
Dulu disebut
Lapangan Tugu yang terletak di depan Pendopo Kabupaten dan DPRD Lombok
Timur serta Masjid Raya Selong, Namun pada tahun 2010 Pemerintah Lombok Timur merombak Lapangan Tugu ini.
Beberapa Kantor, Jalan dan Sekolah di Sisi sebelah Barat Taman Tugu dibongkar
untuk memperluas areal Alun-alun ini. Alun-alun ini merupakan lapangan
berbentuk bujur sangkar dengan terdapat panggung beton disisi Barat, Tempat
permainan anak-anak di sebelah panggung tersebut dan sebuah Tugu tepat di
tengah-tengahnya. Tugu ini dinamakan tugu pancasila karena pada masing-masing
sisi tugu ini terdapat simbol tiap-tiap sila pancasila.
Ada sebuah
kisah menarik tentang Lapangan Tugu. Menurut cerita orang tua, lapangan tugu
awalnya dibangun oleh kepala perwakilan Belanda di Lombok Timur untuk menandai
tempat dikuburkannya ari-ari putri kepala perwakilan Belanda yang bertempat
tinggal di Gedung Pendopo, rumah dinas Bupati Lombok Timur saat ini. Pada masa
Orde Baru, bangunan Tugu dirombak total lengkap dengan relief-relief pancasila
di kelima sisinya. dan mulai tahun 2010 upacara peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia dilakukan di sini yang semula dilakukan di Lapangan PORDA.
d. Lapangan
PORDA
Dinamakan
demikian karena pernah menggelar event Pekan Olahraga Daerah, tempat ini adalah kompleks olahraga yang
terdiri atas sebuah stadion sepak bola, Lapangan Tenis, sebuah kolam renang umum. di dalam
komplek Lapangan PORDA juga terdapat kantor KONI Lombok Timur.
e. Pusat
Pertokoan Pancor
Disini
adalah pusatnya perdagangan di kota Selong dibangun pada masa pemerintahan Ali
B. Dahlan sebagai Bupati Lombok Timur. Pusat Pertokoan Pancor sering juga
disebut PTC atau Pancor Trade Center.
2. Media
Beberapa
media dapat ditemukan di Selong dalam upaya memberikan informasi dan berita
penting untuk masyarakat setempat dan sekitarnya. Satu-satunya stasiun televisi
lokal di daerah ini adalah Selaparang TV yang terbentuk pertama kali pada masa
pemerintahan Bupati Ali Bin Dahlan. Deretan stasiun radio swasta antara lain SCBS FM dengan segmen pendengar anak muda, Lombok Ceria atau
disingkat LBC, dan Radio Hamzanwadi disingkat RHN yang didirikan di areal Pondok Pesantren Pancor.
Selain media televisi dan radio, satu-satunya media cetak di daerah ini adalah
Radar Lombok.
B.
SAKRA BARAT
Sakra Barat merupakan
sebuah kecamatan di kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Yang merupakan pemekaran dari kecamatan Sakra.
1. Sejarah
Sakra Barat
merupakan pemekaran dari kecamatan Sakra, Lombok Timur, dengan penetapan ibu kota di
Rensing. Desa ini dijadikan sebagai ibu kota kecamatan Sakra Barat dengan
alasan secara historis karna desa mengalami pertumbuhan paling dinamis bila
dibandingkan desa lainnya. Salah satu dusun yang terletak di Desa Rensing,
yakni Peteluan, terdapat sebuah terminal strategis dengan jalur yang ramai dan
didukung infrastruktur yang cukup baik. Sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik pula.
2. Geografis
Kecamatan
Sakra Barat memiliki luas wilayah 33,7 Km² dan terdiri dari 5 desa yaitu desa
Sukarara, Gunung Rajak, Rensing, Bungtiang, Pengkelak Mas dan Borok Toyang
dengan ibukota Kecamatan berada di desa Rensing Kecamatan Sakra Barat merupakan
daerah dengan kontur berbukit pada ketinggian 0-250 meter dari permukaan laut.
Batas wilayah kecamatan Sakra Barat sebagai berikut:
a. Sebelah Utara: Kecamatan Sakra
b. Sebelah Timur: Kecamatan Sakra Timur
c. Sebelah Selatan: Kecamatan Keruak
d. Sebelah Barat: Kecamatan Janapria
Kabupaten Lombok Tengah
Jika dilihat
dari segi luas wilayah pada tingkat desa di kecamatan ini, maka desa Bungtiang adalah
desa dengan wilayah terluas yaitu mencapai 24,60 persen dari wilayah kecamatan
atau sekitar 8,26 Km² ( data sebelum pemekaran desa Borok Toyang pada tahun
2011 ), diikuti desa Sukarara 7,75 Km² atau 23 persen, desa Gunung Rajak
6,7 Km² atau 19,88 persen, desa Rensing 5,56 Km² atau 16,5 persen dan terakhir
desa Pengkelak Mas 16,02 persen atau sekitar 5,4 Km². Sebagian besar lahan
tersebut masih dimanfaatkan untuk lahan pertanian, hanya sekitar 8,57 persen
dimanfaatkan untuk pemukiman.
3. Gambaran Masyarakat
Jumlah
Penduduk Kecamatan Sakra Barat dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2007 tercatat sebanyak 45,070 jiwa
dengan rincian laki-laki sebanyak 18.862 jiwa dan perempuan sebanyak 26.208
jiwa.
Dibandingkan
dengan luas wilayah, maka kepadatan penduduk di kecamatan Sakra Barat tercatat
sebesar 1.337 jiwa per Km². Di antara semua desa yang ada di kecamatan Sakra
Barat, desa Rensing memiliki kepadatan penduduk yang paling tinggi yaitu 1.924
jiwa per Km² sedangkan desa Sukarara memiliki kepadatan terendah dengan 911
jiwa Km².
Sebagian
besar penduduk di Sakra Barat memiliki mata pencaharian sebagai Petani,
sebagian kecil sebagai Pedagang, Pegawai Negeri Sipil, Buruh Tani, dan
lain-lain. Pada tahun 2006 tercatat sebanyak 20.486 orang penduduk memiliki
mata pencarian sebagai Petani dan Non-Tani tercatat 1.994 orang, juga tercatat
885 orang penduduk yang bekerja di sektor pemerintahan. Daerah ini juga
merupakan salah satu penyumbang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri seperti Malaysia,
Arab Saudi, dan lain-lain.
Masyarakat
Sakra Barat terkenal cukup religius, terutama desa Rensing dan Gunung Rajak
yang merupakan basis warga Nahdlatul Wathan yang merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di
NTB.
4. Pertanian
Daerah ini
merupakan areal pertanian lahan kering dengan komoditi pertanian utamanya
tembakau jenis Virginia, Padi, serta Kacang-kacangan. Dari daerah ini makanan
khas yang cukup terkenal dan diminati adalah Tolang Komak.
5. Perekonomian
Di wilayah
desa Rensing terdapat Pasar Peteluan yang merupakan sentra kegiatan
perekonomian masyarakat kecamatan Sakra Barat. Di samping itu di desa lain juga
terdapat pasar-pasar desa yang beroperasi hanya pada pagi hari atau di sore
hari dan pada hari tertentu saja seperti di Bungtiang hari Selasa, di Gerisak
desa Pengkelak Mas pada hari Rabu dan lain-lain.
6. Pendidikan
Sarana
pendidikan di daerah ini terbilang cukup lengkap mulai dari Taman Kanak-kanak
sampai dengan Perguruan Tinggi yang merupakan kelas jauh dari beberapa perguruan
tinggi swasta di Kabupaten Lombok Timur. Namun dari segi fasilitas pendidikan
yang tersedia masih sangat minim.
C.
DESA RENSING BAT
Desa Rensing
Bat merupakan pemekaran dari Desa Rensing, meliputi Tibujae, Timuk Rurung,
Gubuk Lauq (Gubuk Masjid), Repoq Tengaq dan Dayen Kubur. Penduduknya mayoritas
Petani, dengan mayoritas tanaman Padi dan Tembakau di musim kemarau
D. DESA RENSING JAYA
Dulu bernama Rensing Timuq
E.
DESA MENGKURU
Permukaan
desa Mengkuru sekitar 75% datar dan 25% adalah perbukitan. Berikut gambar
salinan Desa Mengkuru : Pusat Desa Mengkuru, dari ketinggian 1,75 Km,
Jumlah penduduk 3.135 jiwa pada tahun 2012. Yang 100% beragama Islam. Dan
sebagaian besar bekerja sebagai Petani dan Buruh Tani sisanya bekerja sebagai
TKI, Pedagang, Ternak, PNS, Wirausaha, Guru, dan lain-lain, Pendidikan di desa
Mengkuru cukup memadai, karena dari setiap penyelenggara pendidikan Sudah
memiliki sarana pendukung yang memadai untuk pendidikan karna tingkat kesadaran
masyarakat akan pendidikan sangat tinggi, Sebagaian besar warga desa
membudidayakan Padi pada musim penghujan dan tembakau pada musim kemarau.
Kedelai, Kacang - kacangan, Jagung dsb. biasanya adalah tanaman pelengkap
pangan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri.
F.
DESA RENSING
Rensing
merupakan ibukota kecamatan dari Kecamatan Sakra Barat ini. Desa Rensing
memiliki beberapa dusun yang dikepalai oleh Kepala Dusun atau disingkat Kadus,
Dusun-dusun tersebut di antaranya :
G.
DESA BUNGTIANG
Batas -
batas desa Utara : Desa Borok Toyang Selatan : Desa Boyemare dan
Desa Selebung Ketangga Kec. Keruak, Timur : Desa Pengkelak Mas dan
Barat : Desa Rensing. Permukaan desa Bungtiang sekitar 75% datar dan 25%
adalah perbukitan. Desa Bungtiang : Pusat Desa dari ketinggian 812 Meter
dan 1,75 Km, Pusat Desa Bungtiang Desa Bungtiang dari ketinggian 1,75 Km
Berikut
adalah pembagian wilayah desa Bungtiang setelah pemekaran desa 2011 (Borok
Toyang/Utara, dan Boyemare/Selatan): Wilayah Desa Bungtiang Pasca Pemekaran Desa 2011, Jumlah penduduk 10.883 jiwa pada
tahun 2007. Yang 100% beragama Islam. Dan sebagaian besar bekerja sebagai
Petani dan Buruh Tani sisanya bekerja sebagai TKI, Pedagang, Ternak, PNS,
Wirausaha, TNI & POLRI, dan lain-lain. Pendidikan di desa Bungtiang masih
sangat menyedihkan, karena dari setiap penyelenggara pendidikan masih belum
memiliki sarana pendukung yang cukup memadai untuk pendidikan serta terhambat
oleh beberapa faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi tingkat kesadaran
masyarakat akan pendidikan. Hanya sebagian kecil bahkan bisa dihitung dengan
jari yang memiliki tingkat intelektual tinggi beliau adalah beberapa dari
tokoh-tokoh yang cukup masyhur yaitu : TGH. Syafi'i Ahmad, MA (tokoh agama
Nahdlatul Wathan), Drs. Khalid H.(Kasek SMA NW Pancor & Staf Dosen STKIP
Hamzanwadi Pancor) sekarang beliau melanjutkan studi S2-nya di Johor Malaysia
bersama 6 orang lainnya yang dikirim pemerintah dari Indonesia, Drs. H. Muksin
(Kabag Dakwah IAIN Mataram), Mastur Riyadi, M.Pd (Dosen FPOK IKIP Mataram),
Drs. Marzuki (Dosen UNW Mataram) dan lain-lain. Sebagaian besar warga desa membudidayakan
Padi pada musim penghujan dan tembakau pada musim kemarau. Kedelai, Kacang -
kacangan, Jagung dsb. biasanya adalah tanaman pelengkap pangan untuk kebutuhan
rumah tangga sendiri.
H.
SAKRA
Sakra adalah
sebuah kecamatan di kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sejarah singkat Kecamatan Sakra ini merupakan salah
satu kecamatan induk tertua di Kabupaten Lombok Timur. Desa Sakra yang
merupakan pusat kecamatan ini merupakan sentra bangsawan pada zaman dahulu yang
dalam istilah bahasa Sasak disebut pedaleman. Congah Sakra Pada zaman dahulu, dari
desa inilah beberapa tokoh bangsawan Sasak memprovokasi warga untuk melakukan
pembrontakan kepada pemerintahan Bali yang waktu itu berkuasa dan berkedudukan
di Cakranegara. Pemberontakan tersebut dikenal dengan istilah Congah Sakra.
Pemberontakan tersebut yang semula dipelopori oleh para perwangsa atau menak
(bangsawan) kemudian diteruskan oleh tokoh agama yang dikenal sebagai Tuan Guru
Haji Ali Batu. Kecamatan Sakra berbatasan dengan : Sakra Barat di sebelah
selatan, Sebelah Utara : Kecamatan Selong dan Kecamatan Sikur, Sebelah Barat :
Kecamatan Terara dan Sebelah Timur: Kecamatan Sakra Timur
I.
SAKRA TIMUR
Sakra Timur adalah sebuah kecamatan di kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
Sejarah
singkat terbentuknya Kecamatan Sakra Timur Kabupaten Lombok Timur yang terletak
dibagian timur Pulau Lombok merupakan salah satu Kabupaten dengan penduduk
terpadat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang wilayahnya terbagi dalam
10 (sepuluh) Kecamatan yaitu : Selong, Masbagik, Sikur, Terara, Keruak,
Sakra, Sambelia, Pringgabaya, Aikmel, dan Sukamulia. Selanjutnya seiiring
dengan perkembangan dan tuntutan zaman dimana untuk membangun dan
mengembangkan sistem kerja kecamatan yang professional, efisien, efektif dan
tanggap terhadap aspirasi masyarakat sehingga tercipta pemerintahan yang baik
(Good Governance), maka Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melaksanakan
Pemekaran
Kecamatan.
Adapun pemekaran Kecamatan yang dilakukan melalui 2 (dua) tahapan sebagai
berikut :
1. Pemekaran 8 (delapan) Kecamatan
dengan Perda No. 14 Tahun 2000 Tanggall 14 Desember 2000, dimana dari 10
(sepuluh) Kecamatan yang ada dimekarkan menjadi 18 (delapan belas) Kecamatan.
2. Pemekaran 2 (dua) Kecamatan, dengan
Perda No. 7 Tahun 2002 Tanggal 29 Juli 2002, sehingga jumlah kecamatan di
Lombok Timur menjadi 20 Kecamatan. Dari kedua Perda tersebut di atas, Kecamatan
Sakra Timur terbentuk berdasarkan Perda No. 14 Tahun 2000. Kecamatan Sakra
Timur merupakan pengembangan dari Kecamatan Sakra yang dimekarkan manjadi 3
(tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Sakra, Kecamatan Sakra Barat dan Kecamatan
Sakra Timur. Pemekaran Kecamatan Sakra Timur sebelum dimekarkan secara
difinitip sesuai Perda tersebut di atas, terlebih dahulu melalui tahapan
Kecamatan Persiapan. Kecamatan Persiapan Sakra Timur terbentuk berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 81 Tahun 1999 Tanggal 24 April
1999. Secara administratif Kecamatan Sakra Timur membawahi 5 desa yaitu :
Desa Lepak, Desa Montong Tangi, Desa Gereneng, Desa Surabaya, dan Desa
Gelanggang, dengan Desa Lepak sebagai ibukota Kecamatan.
J.
DESA SONGAK
1. Sejarah
Pada
dasarnya semua desa memiliki babat, karena babat merupakan saudara kembar dari lahirnya
desa itu sendiri. tapi itu sekedar keharusan yang mutlak,namun kenyataannya
jauh berbeda kini jarang sekali desa-desa yang memiliki babat. Padahal
babat adalah perjalanan kegiatan yang terjadi diatas permukaan bumi dimana
wilayah desa itu berada, atau dengan kata lain catatan peristiwa dari
zaman kezaman yang sudah berlangsung diwilayah desa itu sendiri
Ketiadaan ini disebabkan karena :
a.
Ketiadaan
pemerhati sejarah. Pemerhati sejarah menjadi enggan memunculkan diri karena :
1)
Tidak ada penghargaan
dari penguasa.
2)
Dihawatirkan
akan membeberkan kekurangan suatu situasi .
3)
Terkadang di
isukan mengangkat keturunan dirinya alias bedatuan.
4)
Dan masih
banyak segudang alasan sehingga pemerhati sejarah enggan kelihatan.
b.
Karena
memang tidak ada yang ingat untuk memperhatikan peristiwa secara
teliti padahal sangat perlu untuk di ingat dan dikenang tapi peristiwa
berjalan begitu saja kelak orang –orang mulai mengerutkan kening untuk
mengetahui kapan dan dimana peristiwa itu terjadi.
Itulah
kiranya yang melatar belakangi sehingga tulisan ini mulai dikonsep mungkin bisa
dijadikan sebagai dasar untuk mengingat kembali kapan terjadinya sesuatu
peristiwa didesa ini. salah satu contoh
adanya Masjid Al-falah tak ada
satupun orang yang mengetahui kapan dan siapa yang membuatnya, bagi saya
sendiri hal ini sangat aneh, bagaimana tidak, sepengetahuan kami mesalah
masjid itu adalah masalah yang sangat sensitive yang seharusnya tidak ada
seorangpun yang tidak tahu terlebih lagi orang yang bertempat tinggal di
pinggirnya. tapi kernyataan berkata lain, tidak ada seorangpun yang
mengetahui,demikian juga tentang adanya makam kreamat Songak,belum ada
kepastian yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai siapa dan mengapa sehingga
dianggap Keramat oleh semua Masyarakat Songak pada khususnya
dan Masyarakat luar pada umumnya. Yang pasti pertentangan pendapat
tentang Tokoh yang disemayamkan sekali gus tentang ritualisasi
pelaksanaan acara termasuk siapa saja yang berwenang untuk menentukan
segalanya, dalam acara pelaksanaan ritual ngayu-ayu yang sudah menjadi
kebiasaan bahkan kebutuhan masyarakat Songak dan sekitarnya,.. mengenai
ngayu–ayu sudah banyak terjadi perbedaan peresepsi, jika ini dibiarkan saja
atau dianggap sepele,saya yaqin , suatu saat akan terjadi pertentangan antar
sesama saudara tentang siapa yang paling berhak untuk menetukan bahkan
sudah ada yang radak berhak terhadap makam itu sendiri termasuk apa saja yang
ada didalamnya.padahal tempat itu sudah jelas dari dulu tempat bersejarah
ini belum pernah ada yang berani mengakui sebagai miliknya..Inilah yang
penulis sangat hawatirkan dalam lingkup desa Songak yang sangat dikagumi oleh
penulis.Keaguman penulis bukannya tidak beralasan,namuun menurut pengetahuan
banyak persoalan misteri yang jarang mampu di kethui oleh orang kebanyakan.
Menurut
hemat kami bukan hanya terbatas sampai disini tetapi masih banyak hal yang
lebih parah bagi kehidupan masyarakat songak pada khususnya masarakat
Lombok pada umumnya.bagaimana tidak jika sejarah Lombok kita perhatikan
akan anda temuai berbagai macam persi dimana semua persi menganggap Persinya
yang paling benar,.Kita ambil contoh Babat Sakra .Oleh Masyarakat sakra
sendiri terdapat perbedaan persepsi tentang ;
a.
Dimana
desa SAKRA yang dahulu kala konon menjadi Kerajaan.
b.
Siapa yang
memberikan gelar kebanggaan,mamiq,lalu,baiq dll
c.
Siapa yang
benar keturunan datu sakra yang konon gagah tampan bergelar raden Panji
d.
Mana dan
siapa yang memegang pusaka berupa senjata kebanggaan kerajaan sakra. Dan masih
banyak sederetan persoalan yang jadi pertentangan Bangsawan Sakra.
Belum lagi
persoalan Datu pejanggik yang konon kalah perang melawan Anak Agung
Karang asem bali yang menurut perkiraan berlangsung sekitar tahun 1713 M .Kemana
perginya,Benarkah beliau dimakamkan di serewa siapa yang memakamkan,jika itu
benar bagaimana dengan kehadiran Yang Mulia Guru Sinarah yang terkenal dengan
sebutan tuan guru pepau ,dan seterusnya.
Begitu juga
dengan Banjar getas yang cerdik Mumpuni Sakti tanpa pilih tanding siapa gerangan
orang tuanya,benarkah beliau korban kebolehan seorang raja atau
keswenang-wenagan Baginda Datu selaparang yang begitu tersohor arif bijaksana
,dan bahkan ada yang menganggapnya raja yang takarrub kepada Alloh
S.W.T. Jika itu benar sampai hatikah seorang Banjar getas akan membiarkan
tanah airnya di kuasai Orang yang tidak berhak sama sekali terhadap tanah
asalnya Gumi sasak tercinta ini. . Yang aneh lagi menurut tutur sejarah semua
sejarah lombok berlatar belakang SELAPARANG,baik sejarah sakra ,sejarah
pejanggik bahkan sampai sejarah kerajaan Kuripan. Jika hal ini tidak segera di
benahi oleh para senior pemerhati sajarh sasak ‘saya . Sebengak hawtir,cemas
terhadap masa depan masyarakat, Demi mempertahan kan keyakinanan
terhadap sejarah yang belum mutlak kebenarannya akan terjadi perebutan
pengekuan yang tidak beralasan dan sebagainya.
Penulisan
Babat Desa Songak
ini bermaksud sekedar mencatat beberapa hal penting bagi kehidupan dan
keberadaan Desa Songak
sebagai desa induk di lombok timur, selain Desa Selaparang , sekaligus sebagai catatan yang
mungkin di anggap penting oleh anak cucu dikemudian hari
,agar ter arah cara mengagumi desanya,sehingga terhindar dari sikap sok tahu
tanpa ada landasan sebagai bahan acuannya ,paling tidak lebih bisa
saling mengatur diri antar sesama tidak seperti kehidupan yang sedang kita
alami saat ini , jika ada yang bisa berbuat seperti ini, ada lagi oknum yang
lebih bisa menggagalkan kebaiakan yang sedang di perbuat,dengan sederetan
alasan kebenaran untuk menutupi iri dengki dalam hatinya, semoga
Alloh yang maha wenang menjauhkan
kita beserta anak cucu keturunan kita dari sifat seperti ini Amin ya
Robbal alamin.
2.
Babat Desa Songak
Babat yaitu
;catatan peristiwa yang dianggap penting untuk diabadikan dengan
maksu kejadian itu bisa dijadikan bahan acuan untuk dilakukan bila
menguntungkan dan atau diajauhkan jika merugikan atau bahkan bisa dijadikan
kebanggaan tersendiri terhadap sesuatu peristiwa tersebut.
Desa yaitu; sebuah kata yang menunjukan
tempat berkumpulnya beberapa penduduk sebagai satu masyarakat yang
memiliki satu tatanan hidup dengan di pimpin oleh seorang kepala
desa inilah pemahaman kita tentang desa,sementara dalam babat yang
di maksud dengan desa adalah tempat yang depergunakan sebagai pusat
pemerintahan ysng dipimpin oleh seorang datu.jadi kata desa zaman dahulu lebih
tepat disebut kerajaan zaman sekarang.
Dari
perbedaan makna desa dahulu dengan desa sekarang dapatlah kiranya kita katakan
bahwa desa yang sudah di sebut sejak dahulu kala itu adalah sebuah kerajaan
walau sementara ada orang berpedapat bahwa ada kerajaan kecil , walau
sekecil apapun tapi tetaplah kerajaan yang mesti memiliki kebesaran.
Songak adalah
nama desa yang konon dulunya bernama desa leaq, yang selajutnya terkenal pada
zaman dahulu kala dengan sebutan desa leak, sementara leaq bermaksud sangat
awal atau mula yang artinya lebih dahulu adanya ,semetara leak adalah kata yang berasal dari
bahasa Bali yang artinya secara bahasa Sasak adalah; Selaq artinya manusia yang memiliki ilmu jahat sehingga
dengan ilmunya tersebut orang bisa membuat orang lain menjadi sakit
sesuai dengan kehendak Sang Tuselaq
singkatan dari Tau Selaq
tersebut,
Itulah yang
kemudian menjadi penyebab sehingga desa ini tidak berpenghuni lagi konon
orang-orang yang sebagai penghuninya sangat malu dikatakan orang leak
karena selalu ditakuti kawan –kawan yang berada di desa lain.Barulah kemudian
datang sembilan orang laki-laki yang berusia sama dan berwajah mirip
bagaikan orang kembar sembilan membuat sebuah bangunan sembilan kali
sembilan,sebagai tempat berkumpul beribadah sekaligus tempat gundem dalam
membahas pelajaran agama.Dan orang-orang ini di kenal orang dengan nama Kisanga Pati yang artinya sembilan
penduduk inti dari desa ini, inilah ysng kemudian sebagai sebutan kental desa
ini yaitu Desa Sanga Pati.
Menurut
tutur orang tua, desa ini sudah berubah nama sebanyak kurang lebih enam kali
perubahan sehingga Desa tua ini jarang dapat di ungkapkan para ahli
sejarah baik sejarah sakra maupun sejarah lombok lainnya,. Adapun perubahan
yang dimaksud adalah;
a. Nama asalnya ditemukan bernama desa
LEAQ.[ceritra Iling almh]
b. Berubah menjadi desa SANGA PATI
c. Karena suatu tragedi yang dialami Datu Selaparang
didesa ini ,maka desa ini beliu namakan DESA SEBENGAK (latar belakang makam sebengak)
d. Karena desa ini merupakan tempat
tinggal nya Raden.
Muntar kakak sulung nya datu Sakra, maka desa ini disebut DESA
SENGAKA artnya lebih besar atau sulung.
e. Untuk terhindar nya desa ini dari
catatan sejarah, sekaligus menggabung kan dua bahasa yaitu bahasa jawa timur
dan bahasa jawa barat dalam menyebut angka sembilan,sebagaimana kita ketahui
bahwa sembilan menurut bahasa jawa timur dan jawa tengah adalah SONGO,
sedangkan bahasa Sundanya atau jawa barat adalah Sangak, oleh karena itu
bahasa jawa timur dan tengah di ambila awal nya saja yaitu (SO)
,sedangkan bahasa jawa barat Mengambil ujungnya yaitu
(NGAK) maka jadilah desa songak dan tentunya arti yang dimaksud adalah
desa sang Ki Sanga Pati
f. Demi kepentingan administrasi
pemerintahan Kecamatan sakra kabupaten Lombok Timur desa songak di tiadakan
,berubah menjadi Desa Keselet,yang ada hanya lah wilayah dusun Songak,.
Aneh kan demi kepentingan desa,
nama desa yang telah begitu permanen dan resmi sejak dahulu kala bisa di
tutup dan di tiadakan begitu saja. siapa yang salah mengapa,
tidaklah mesti di ungkap, namun itulah kenyataan sejarah tentang nama
desa yang banyak menimbulkan teka teki ini, bagaikan ada unsur kesengajaan
untuk menghilangkan nama desa tersebut.
Sehubungan
dengan penyembunyian nama Songak
tersebut menurut hemat penulis ada beberapa penyebab para ahli
sejarah atau orang tertentu sehingga nama desa ini mesti dan harus di
sembunyikan bahkan di hilang kan sekaligus, di antara nya ;
a. Karena memang maunya keadaan
b. Karena ada unsur kesengajaan orang
–orang tertentu yang mungkin disebab kan karena takut kehilangan pamor sebagai
orang penting dalam sejarah bahkan dalam posisi ditengah masyarakat sehingga timbul
beberapa isu negatif tentang desa ini yang mengakibatkan desa ini makin di
benci dan dijauhi oleh kebanyakan orang bahkan dipandang sebelah
mata.Adapun isu tersebut adalah;
c. Nama Leaq menjadi desa Leak
d. Matinya semua binatang yang minum
dihilir tibu Sundin pada Sungai Maronggek sampai muara di labuan haji.
Peristiwa ini terjadi beberapa saat setelah musnahNya yang mulia Ilang Sabil batu bangka, yang
disebabkan oleh jatuhnya senjata sakti Beruang
Songak ditibu tersebut.
e. Marahnya Tuaq Gedah songak ,yang saat itu beliau sedang mengabdi
menjadi patih nya datu Marong
,akibat rakyat terlalu tunduk dan hormat pada sang patih melebihi hotrmat nya
kepada datu . ahirnya datu marong menjdi murka sehingga mengutus prajuritnya
untuk membunuh Sang patih. namun Tuak
Gedah songak bukanlah orang sembarangan yang bisa di anggap enteng.
hanya dengan mengakat telunjuk kiri sambil menyebut beruang songak, perajurit
yang akan membunuhnya ,, mati di tempat,,.
f. Meninggalnya Camat sakra I di songak
sedangkan jenazahnya di usung ke Sakra yang kemudian persoalanm ini
dijadikan bukti sejarah tentang orang songak adalah orang –orang yang
tidak patut di pergauli dan sebagainya.
Inilah yang
penulis maksudkan menjadi penybab sehingga orang songak sendiri terkadang enggan
dan malu disebut orang Songak dan itupun hanya beberapa keturunan orang songak
bahkan sampai saat ini masih ada yang malu menjadi orang songak.
3. Luas
Wilayah Desa Songak
Wilayah desa
songak saat ini menurut sensus terahir adalah sekitar kurang lebih 200 hektar
terdidri dari sawah dan ladang kering setelah diambil oleh wilayah Desa
Denggen dari sebelah timur selatan sedangkan dari arah barat selatan
diambil lagi menjadi wilayah rumbuk sampai kali
maronggek. Begitu juga dari arah barat utara diagum oleh desa
keselet dan jantuk sampai pekuburan songak barat. Yang masih agak luas
kearah timur utara sampai perbatasan desa Dasan lekong dan Pancor.
Jika luas
wilayah saat ini kita perhatikan,sepertinya masyarakat desa ini terlalu gampang
menyerahkan haknya kepada Desa yang berdekatan dengan nya. Jika begini terus
saya khawatir anak cucu kelak akan tinggal dimana, padahal jika kita kembali
kemasa yang lalu, lebih-lebih jika kita lihat sejarah sebelum hadirnya
masyarakat tempit yang saat ini berkedudukan di Desa Denggen dan Keselet, konon
wilayah Desa songak ini di sebelah utara hanya di batasi dengan wilayah Rarang
dan Masbagik Pancor sampai Peneda Gandor, lalu kesebelah selatan se silak
–siluk telabah saring semuanya adalah wilayah Desa Songak sampai sekaroh Batu
nampar. Rupanya se iring perkembamgan zaman yang diwarnai ketidak layakan
sumber daya manusianya maka inilah kenyataan yang harus diterima oleh anak cucu
selaku generasi penerus sang pemula menduduki wilayah desa songak ini. Kini
Masyarakat songak bagaikan katak dalam tempurung jika ingin melangkah kakinya
tak dapat di angkat dengan leluasa baru melangkah sedikit kakinya sudah
menginjak wilayah orang. Tidaklah terlalu mengherankan jika pada masa kehidupan
hanya bertumpu pada hasil pertanian, terdapat banyak Masyarakat songak yang
terpaksa menyandang gelar Maling songak yang sampai saat ini nama
tersebut masih melekat pada diri orang songak.
Apa yang
terungkap diatas adalah sekedar gambaran keberadaan wilayah desa songak pada
zaman dahulu kala, jangan lah menjadi alasan untuk berputus asa dalam
mengarungi kehidupan masa depan karena kenyataan menunjukkan kebnaran perinsip
para pendahulu Masyarkat Songak yang mengatakan bahwa; hidup ini bukan
terletak pada banyak sedikitnya harta yang katanya milik diri tetapi gaya hidup
setiap orang sudah ditentukan oleh yang maha mengatur yaitu Allah yang maha wenang dan berhak.
Dari perinsip kebenaran hakiki diataslah sehingga orang-orang tua dulu tidak
terlalu peduli terhadap apa yang konon jadi hak miliknya, walau pada mulanya
terkadang ber- api-api untuk merebut haknya, tetapi setelah miliknya itu
berhasil di genggam mereke serta-merta kembali kepada perinsip diatas.
Hal tersebut diatas pernah terbukti sekitar awal tahun 1915 M
ketika jero Kertasih sebagai Kepala desa songak .
4.
Al Kisah
Ketika Jero Kertsih
menjadi Kepala Desa,beliau berjanji akan mengambil hak miliknya
berupa tanah garapan wilayah Telabah saring dan konon beliau
berangkat kebali mengurusnya dan berhasil dengan bukti hak milik dibawa dari
bali , namun begitu sampai di pelabuhan ampenan sang pejuang
ditemui teman karibnya dari Desa Rumbuk bernma Jero Kali,dengan kesepakatan
yang didasari pertimbangan keamanan dengan keluarga luar menyerahkan
bukti milik nya kepada sang kawan ahirnya sang jero hanya membawa
tangan hampa kerumah disertai uang sekedar ganti lelah sebanyak lima
belas pikul uang bolong.
Ahirnya
tetaplah keadaan wilayah seperti saat ini padahal hak sudah di genggaman
akibatnya masyrakat yang tahu persis keadaan ini menjadi jengkel,salah seorang
keluarga memberaki pusara nya setiap hari selama sang pendendam masih hidup.
dialah yang menceritrakan kisahnya setelah di kecam oleh keluarga
almarhum jero
Kertsih sang pendendam itu adalah Amaq raham wafat sekitar tahun 1978 M
5. Kekeyaan
Alam
Desa ini
termasuk desa yang tidak memimli keayaan apa-apa jika dilihat secara mata
telanjang,sehingga sering kali orang bingung memikirkan kehidupan masyarakat
penduduk desa miskin ini, orang luar tidak banyak yang berani mencoba
hidup di desa ini bagaiman tidak,penghuninya saat ini tidak kurang dari
tiga ribu jiwa, sementara tanah sawah sebagai tumpuan hidup kurang dari seratus
lima puluh hektar,namun secara kenyataan tidak jarang orang orang
terpaksa tinggal di songak enggan kembali kedesa asalnya
Disisi lain
desa ini menyimpan banyak kekayaan jika kita mampu melihat secara
cermat dan teliti,mungkin banyak orang tidak akan percaya
jika di sini saya katakan ada sekian banyak harta yang konon semua harta
Baginda Datu Selaparang yang I tersimpan di Desa ini. Jika ini benar adanya
berarti kata-kata i-kaya yang kita ucapkan setiap hari suatu saat akan
menjadi kenyataan ,ada lagi bentuk kekayaan lain yang tersimpan di desa ini
yaitu sebuah kempul emas yang jika ini di bunyikan uang , harta dalam
bentuk permata dan lain-lain akan terwujud dengan seketika ,cuman anda perlu
bersabar menunggu datang nya siapa orang nya yang mampu menemukan benda
tersebut ,karena dialah yang mampu mengambil uang dan harta tersebut untuk kita
semua Penduduk Desa Songak.
Masih banyak
lagi bentuk kekayaan lain berupa ksenian keahlian dan situasi desa
termasuk letak geograpisnya,bukankah kekayaan namanya ,namun janganlah
hendaknya semua kekayaan yang konon ada ini ditaruh dalam hati biarkan berada
pada tempatnya agar kita tidak menjadi penghayal kelas kakap,ingin memilki
sesuatu yang masih semu berharap beras dari langit, biarlah ada pada tempatnya
tiada salahnya kita meyakini adanya agar kita tetap merasa kaya dikala
sedang berusaha mencari harta buat menghidupi anak dan keluarga.
Selanjutnya
kita akan coba mencermati kekayan kita yang nyata dan ini ada beberapa
diantaranya Masjid Pusaka; Makam Sebengak, Makam Maling Songak, Makam Puseah ,Segeleng, Kelutuq, Damiru,Lingkuq Sanga dan lain-lain.
K.
SEJARAH MONTONG
BETOK
1.
Tombak Sakra Membentuk Desa
Montong Betok
Desa
Montongbetok, yang sejak tahun 1999 menjadi Ibu Kota Kecamatan Montonggading,
dulunya; pada zaman berkuasanya Kerajaan Karang Asem Bali di pulau Lombok. Desa
Montongbetok yang masih berupa hutan belukar yang konon mengerikan, menjadi
wilayah kekuasaan Pemerintahan Desa Kilang yang waktu itu telah memiliki
pemerintahan tetap, membentang ke utara, silak iluk Wyat ngampong menjadi batas
sebelah Barat gunung Terawangan (sekarang menjadi wilayah Desa Perian). Di
seberang Kali Gading sebelah timur terdapat Dasan Limbungan tempat pemukiman
yang menjadi penduduk asli Desa Montongbetok. Dasan Limbungan konon dipimpin
oleh seorang yang sakti, juga pemberani. Selain itu, ia sangat gemar
mesiat/begelepuk (tanding kekuatan dengan senjata). Karena kegemaran tersebut,
ia dikenal dengan nama ”Demung
Limbungan.” Kata “Demung,” konon berasal
dari bahasa Sumbawa yang berarti “Distrik”. Menurut kisah: Demung Limbungan
memiliki sebuah senjata berupa sebilah pedang
yang panjangnya hampir semeter, dengan lebar sama dengan pisau yang
digunakan mengiris daun tembakau muda yang biasa disebut Ladik Penggangsur.
Untuk memenuhi kegemarannya itu, Demung Limbungan seringkali mengembara pada
malam hari untuk mencari lawan tanding. Sehingga ia dijuluki “Demung Gamang”
atau “Balok Gamang.” Kata “Gamang”
maksudnya mengembara tanpa tujuan. Dikisahkan pula, apabila Demung Limbungan
itu mengembara waktu malam dan pulang menjelang pagi, tangan dan pedangnya
berlumuran darah, bahkan tangannya masih terdapat melekat di tangkai pedang dan
bisa terlepas dan bersih kalau di siram dengan air panas. Demikian lah hal-hal
seputar kisah ” Demung limbungan”/Balok Gamang.
2.
Gawah Montong
Betok Menjadi Pusat Perampokan
Sebagaimana
telah di sebutkan di atas, bahwa hutan Montongbetok yang dulunya di kuasai oleh
Pemerintahan Desa kilang , di tengah-tengah terdapat jalan setapak yang
menghubungkan desa Kilang dengan desa Kotaraja, pusat pemerintahan perwakilan
Anak Agung Cakranegara. Jalan tersebut
dijadikan jalan lalulintas perwakilan desa Kilang yang akan pergi membayar
pajak/upeti kepada Pemerintah yang berkuasa di Desa Kotaraja . Para pengantar
pajak selalu naik kuda dan uang pajak/upeti pun selalu di angkut dengan
kuda. Uang pajak/upeti terdiri dari
“kepeng tepong” (uang bolong) yang banyak di kenal dengan uang Cina.- Yang
sering terjadi ,apabila penghantar pajak sampai di Hutan Montongbetok , selalu
di hadang dan di rampok oleh kelompok perampok yang di pimpin oleh Demung Limbungan /Balok gamang.
Perampokan tersebut bukan saja sekedar
mengambil harta, tapi juga membunuh korban dan langsung di tanam di tempat
kejadian. Menurut dongeng orang-orang tua yg pernah saya mewawancarai mengenai
kejadian tersebut. Lokasi perampokan dan pembunuhan itu berlokasi di gubuk
Otakdese (depan Puskesmas Montongbetok yang sekarang). Ditempat itulah
pemakaman tak resmi dulu berdiri angker. Menurut cerita, bahwa; sejak adanya
Desa Montongbetok, baru dua keluarga yang memberanikan diri, mungkin takut,
atau sedikit waswas tinggal di tanah angker itu. Yakni seorang Arab bernama:
Sayyid Ibrahim Al Idrus, Ampenan, sejak tahun 1941 s/d 1949, dan keluarga saya
sendiri, dari tahun 1949 s/d sekarang.
3.
Berakhirnya Perampokan Dan Pembunuhan Yang Mengerikan Itu
Perampokan
di gawah Montongbetok juga pembunuhan yang mengerikan itu terus-menerus terjadi, yang sehingga membuat
resah pejalan kaki, juga penghantar pajak/upeti
yang melintasi hutan Montongbetok. Hal ini membuat Pemerintah Desa
Kilang mencari cara menghentikan perampokan dan pembunuhan mengerikan itu. Usaha-usaha Pemerintah Desa Kilang dalam
menghentikan perampokan dan pembunuhan menurut dua narasumber yakni;
a. Pemerintah Desa Kilang meminta bantuan
kepada Bangsawan terkuat Desa Sakra.
b. Pemerintahan Desa Kilang membuat
sebuah Sayimbara: “barang siapa yang dapat menghentikan perampokan dan
pembunuhan di hutan Montongbetok: akan diberikan hutan Montongbetok menjadi
daerah kekuasaannya.”
Dari kedua cara
tersebut, mana yang benar? Kita tak pernah tahu. Tapi yang bisa kita yakini:
benar, Pemerintah Desa Kilang telah berjerih-payah melakukan banyak cara untuk
menghentikan perampokan dan pembunuhan yang terjadi di hutan Montongbetok itu.
Konon, usaha
Pemerintah Desa Kilang itu mendapat sambutan baik dari salah seorang Tokoh
Bangsawan baik dan sakti dari Desa Sakra yang bertitel “RADEN”. Setelah
tercapai kesepakatan antara Pemerintah Desa Kilang dengan Sang Raden Sakra,
lalu ditentukan hari kedatangan Sang Raden berkunjung ke wilayah Desa Kilang.
Setelah harinya tiba Sang Raden dengan diiringi beberapa orang pengawal datang
ke Desa Kilang, dan segera ditunjukkan jalan menuju ketempat kediaman Sang
Demung yang merupakan otak dari perampokan serta pembunuhan di gawah
Montongbetok. Sesampainya Sang Raden di kediaman Sang Demung, segera
disambutnya Sang Raden oleh penjaga pintu luar (di bencingah). Sesuai adat Suku
Sasak, terutama bagi kelas atas; penjaga pintu luarlah yang menerima tamu. Dan
Sang tamu harus lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan Sang penerima tamu.
Seperti misalnya: Siapa nama? Darimana? Apa keperluaanya? Dan berapa orang
pengikutnya? Setelah Sang Raden melalui proses tersebut, maka penjaga pintu
segera menyampaikan kepada Sang Demung bahwa diluar ada tamu yang akan
menghadap. Setelah Sang Demung mendengar laporan penjaga pintu bahwa diluar ada
tamu dari desa yang jauh, nampak ia sangat bergembira dan memerintahkan agar
sang tamu dipersilahkan masuk. Sang Demung tidak bergeser dari tempat duduknya.
Tidak ada tanda-tanda akan berdiri sembari menyambut kedatangan tamu. Hanya
terdengar suara tawa yang garang dari mulutnya. Setelah Sang Raden di dalam,
sebelum duduk, Sang Demung langsung melontarkan pertanyaan: Apa maksud
kedatangan Anda, yang sebelumnya tidak terpikir bahwa ada tamu dari jauh yang
datang ke kediamanku? Sang Raden dengan penuh sopan santun, dengan menggunakan
tata bahasa yang enak di dengar menjawab: Saya datang kemari untuk memohon
bantuan anda, agar perampokan serta pembunuhan yang sering terjadi di hutan
Montongbetok bisa dihentikan, karena sangat meresahkan orang-orang yang
melintasi kawasan hutan itu. Mendengar ucapan Sang Raden, Sang Demung dengan
angkuh tertawa dan mengatakan: “Ooo...Ini wilayahku, aku berbuat apa saja yang
aku mau, tak seorang pun berhak melarangku”. Setelah Sang Raden mendengar
jawaban Sang Demung, Sang Raden tidak merubah sikap santunnya. Dan sekian kali
Sang Raden mengharap agar permintaanya dipenuhi, namun Sang Demung tidak
merubah jawabannya. Akhirnya Sang Raden mengalihkan pembicaraan dan berkata:
“Kalau permohonanku tidak dipenuhi, maka saya minta tolong untuk diperlihat
senjata andalan yang anda miliki”. Sang Demung menjawab: “Kalau itu yang anda
minta, baik”. Sang Demung segera memerintahkan kepada pengawalnya untuk
mengeluarkan beberapa pucuk senjata yang berupa keris, kelewang dan tombak dan
di jejerkan di hadapan sang raden , kemudian sang raden tetap memperlihat kan kehalusan budinya, meminta
ijin untuk memegang senjata itu satu persatu dan sang Demung tertawa lebar
mempersilahkan Sang Raden untuk melihat dan mengamati ansenjata-senjata itu.
Kemudian sang raden mengambil senjata itu satu persatu dan setelah setiap
senjata diunus dari sarungnya, lalu
dipatahkan oleh sang Raden, sehingga semua senjata yang ada di hadapannya dipatahkan
dengan kekuatan tangan. Setelah sang Demung melihat kejadian itu,
wajahnya berubah memerah. Ia mungkin malu. Kemudian berdirilah Demung Limbungan
dihadapan Sang Raden sembari menghunus pedangnya yang konon semeter itu, dan
sang raden dengan cepat mengeluarkan senjata yang di bawanya secara sembunyi,
lalu di arahkan ke dada sang demung yang berdiri , dan seketika itu
sang Demung jatuh tersungkur sambil berteriak mengatakan : Saya kalah dan saya berjanji tidak akan lagi
melakukan perampokan dan pembunuhan lagi. Demikianlah yang terjadi dan
akhirnya pemerintahan desa Kilang langsung menyerahkan hutan Montong betok
keseluruhannya yang membentang ke utara berbatasan dengan hutan komplek Gunung
rinjani. Setelah terjadi peristiwa tersebut, maka masyarakat yang bermukim di
Dasan Limbungan dan sekitarnya mengalihkan perhatian dan penghormatan dari Demung Limbungan kepada
Sang Raden yang telah memperlihatkan ketinggian ilmunya secara nyata dan
terang-terangan.- Kemudian setelah hutan Montongbetok, resmi diserahkan oleh
pemerintahan Desa kilang kepada Sang Raden dari Sakra itu. Di umumkan bahwa
barang siapa yang ingin bermukim di tempat itu, dibolehkan untuk merambas hutan
untuk bertempat tinggal, akhirnya hampir seluruh orang-orang yang dulunya
bermukim di dasan Limbungan dan sekitarnya menyatakan akan berpindah kecuali
Demung Limbungan bersama pengikutnya yang masih setia, malu turut pindah.
Mereka menetap di Dasan Limbungan, dan sampai kini masih terdapat batu-batu
sisa bekas pelataran rumah Demung Limbungan.- Setelah pengikut sang Raden
Sakre itu bertambah banyak dan beliau
menyatakan akan menetap di Montongbetok , lalu berdasarkan permintaan
masyarakat, sang Raden mengumumkan jenis senjata yang menyebabkan Demung
limbungan bertekuk lutut dan menyerah, lalu Sang Raden mengumumkan kepada
masyarakat banyak, bahwa senjata yang di
bawa dari Sakra itu, berupa sepucuk tombak berbentuk simbur (lele) yang
panjangnya ± 25 cm, lebar ± 3 cm pada
pangkalnya dan di sertai selembar silsilah sekeping tembaga yang panjangnya ±
50 cm dan lebarnya ± 7 cm dan bertuliskan hurup Bali yang tidak semua orang
bisa membacanya dan sampai sekarang isi Salsilah itu masih misterius. Dengan kejadian itu seluruh
pengikut Raden Sakra memberi nama dengan sebutan “Raden Belian” karena dengan
ilmunya ia bisa mematahkan besi dengan mudah. Setelah bertahun-tahun Raden
Belian tinggal di Montongbetok bersama Istrinya Dende Tegeng yang tak kunjung
dibuahi anak, beliau khawatir tidak akan ada yang meneruskan kepemimpinannya di
Montongbetok, lalu pada hari tuanya beliau membawa Putra saudaranya bernama
Raden Sinung yang dicandangkan untuk menggantikan kepemimpinannya di desa baru
yang makin berjubel penduduknya itu. Setelah Raden Belian wafat, maka Raden Sinung memegang kendali di desa
Montongbetok, dan beliau lah yang mewarisi tombak yang diberi nama Penjenengan
(konon penjenengan itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti Paduka). Pada
tahun 1889 menurut perkiraan yang mendekati kebenaran dari beberapa saksi
sejarah, Kerajaan Karang Asem, Bali, menyerah kalah pada Pemerintah Kerajaan
Belanda, dan Pemerintahan Belanda mengambil alih kekuasaan di Pulau Lombok. Dan
mulai menata sistem pemerintahan sampai ke pelosok desa. Pada saat itulah
Montongbetok resmi menjadi desa dan Pemerintah Belanda perlu mengangkat seorang
yang akan menjadi Kepala Desa yang tentunya merupakan orang paling berpengaruh
di desa tersebut, sedangkan kala itu Raden Sinung telah lanjut usia, sementara
Putra tunggalnya yang bernama Raden Nuna Rahmat masih terlalu kanak-kanak untuk
memegang jabatan itu. Lalu dari kesepakatan bersama, masyarakat setuju untuk
meminjam seorang Bangsawan dari tanah Masbagik bernama Mamiq Sam. Beliau
tercatat sebagai Kepala Desa pertama di tanah Raden Belian. Menurut perkiraan tokoh-tokoh
tertua desa Montongbetok pada masa lalu, “Mamiq Sam” menjabat sebagai Kepala
Desa Montongbetok selama ± 10 tahun, kemudian pada tahun 1899 digantikan oleh
“Raden Nuna Rahmat” yang mengubah nama menjadi “Mamiq Kertasih,” yang merupakan
Putra pertama Raden Sinung. Pada tahun 1933 setelah menunaikan Ibadah Haji ke
tanah para nabi, berubah nama lagi menjadi “Haji Nasrudin”. Tak lama setelah
kepulangannya menunaikan Ibadah Haji, beliau mengundurkan diri sebagai Kepala
Desa, dan digantikan Putranya “Lalu Kertanom” yang dikenal dengan nama “Mamiq
Fatemah” alias “Haji Abdullah”. Mamiq Fatemah hanya menjabat selama setahun,
kemudian diangkat menjadi Sedahan Districk Rarang-West 1 di Montongbetok. Pada
tahun 1935 diganti oleh iparnya yang buta huruf latin, tapi fasih baca- tulis
huruf Bali (huruf jejawan), bernama “Mamiq Putrasi.” Beliau diakui oleh
masyarakat sebagai ahli melantun tembang mas mumambang, sinum, pangkur, dan
masih banyak lainnya, yang beliau juga berhasil membuat takepan yang ditulis
diatas lembaran lontar dengan menggunakan pemaja (sejenis pisau yang bentuknya
kecil). Judul takepan itu “Takepan Monyeh.”
Takepan itu cukup digemari masyarakat.
Sesuai
dengan tujuan utama penulisan buku kecil ini ialah untuk mengabadikan sekilas
sejarah “Tombak Penjenengan” yang berasal dari tanah Sakra, yang menjadi
tonggak serta bukti sejarah berdirinya desa kita tercinta Montongbetok yang
berawal pada tahun 1889 itu. Yang kemudian pada tahun 1999 Desa Montongbetok
menjadi Ibu Kota Kecamatan Montonggading. Maka penulis kembali menguraikan
tombak bersejarah itu.
Menurut
narasumber, setelah Raden Belian wafat, Tombak Penjenangan dipegang oleh Raden
Sinung. Lalu kemudian Raden Sinung memberi kepercayaan kepada seorang yang
bernama:”Amaq Durayang”. Selain mendapat tugas untuk menjaga dan memelihara,
juga diberikan sebidang tanah pecatu. Selanjutnya setelah Amaq Durayang
meninggal dunia, Tombak Penjenengan itu dijaga dan dirawat anaknya
bernama:”Amaq Imah,” dan begitu juga setelah Amaq Imah meninggal, digantikan anaknya
bernama:”Amaq Rialip” sampai dengan tahun 1936. Setelah terjadi pemecahan
kedistrickan Rarang menjadi dua, yakni Kedistrickan Rarang Oost di Selong dan
Kedistrickan Rarang-West di Sikur. “Lalu H.Kamaludin” yang menjabat sebagai
Kepala Districk Rarang-West kala itu, memindah alihkan pemeliharaan Tombak
Penjenengan dari tangan Amaq Rialip ke tangan Amaq Kawinah yang dikenal tekun
dan teliti itu. Namun tanah pecatu masih tetap dipegang Amaq Rialip, dan
setelah beliau meninggal, tanah pecatu tersebut dibagi waris ke anak cucunya.
Menurut keterangan cucu-cucu dari Amaq Rialip yang kini masih hidup bernama:
“Mariah,Amaq Sapri, Amaq Saifulbahri,” luas tanah pecatu tersebut 0,730 Ha,
(kini statusnya sebagai Tanah Milik).
Ditegaskan
oleh para narasumber, bahwa pada waktu terjadinya perang melawan Bali, Tombak
Penjenengan memiliki peranan penting, yakni apabila pasukan perang akan
berangkat ke pertempuran sengit itu, maka seluruh pasukan dikumpulkan di suatu
tempat lapang (khususnya mereka yang bersenjatakan tombak), lalu kemudian
Tombak Penjengan dibawa oleh Pemangku seraya mengelilingi pasukan, dan Pemangku
memperhatikan secara teliti ujung-ujung tombak yang dipegang para pasukan.
Apabila ada ujung tombak yang begerak, maka si pemegang tombak yang bergerak
ujungnya dikeluarkan dari pasukan dan tak diperbolehkan ikut berperang, karena
menurut Pemangku, si pemegang tombak yang bergerak ujungnya akan mendapat
bahaya, juga kematian dalam pertempuran. Sampai demikianlah yakinnya mereka
terhadap kesaktian dari Tombak Penjenengan Raden Belian di masa itu.
Sejak tahun
1939 sampai pendaratan Jepang tahun 1942, upacara penghormatan kepada Tombak
Penjengan rutin diadakan setiap setahun sekali, yakni pada bulan Maulid. Cara
penghormatan dalam upacaranya sebagai berikut: Menjelang tibanya bulan Maulid,
Sang Pemangku/pemelihara Tombak Penjenengan memberitahukan kepada tokoh-tokoh
Masyarakat hari dan tanggal upacara penghormatan, lalu secara mufakat, secara
bersama bahan-bahan perlengkapan yang diperlukan dalam upcara yakni:
a. 9 (sembilan) ekor ayam Bireng Mulus
b. 9 (sembilan) ekor ayam Pute’ Mulus
c. 1 (satu) botol minyak kelapa
d. Sebanyak mungkin jeruk nipis
e. Senjata-senjata seperti keris dan
lainnya.
Menjelang
esok hari upacara akan dilaksanakan, sejak sore sampai malam, Tombak Penjenengan
ditancapkan dilahan terbuka, umumnya dihalaman rumah, dipayungi dengan sebuah
“Payung Agung” yang selalu menjadi sandingannya, dan disamping tiang Tombak
diletakkan Salsilah yang terbuat dari lempengan tembaga dan bertuliskan huruf
Bali. Selain itu juga tersedia beberapa buah senjata berbentuk keris, kelewang,
dan mata Tombak yang akan turut dibersihkan setelah selesainya pembersihan
Tombak Penjenengan. Sesudah sedianya bahan-bahan yang dibutuhkan, Sang Pemangku
bersama tokoh-tokoh masyarakat, duduk mengelilingi Tombak dengan
pakaian-pakaian terbaik mereka menurut Adat Sasak. Setelah malam semakin hitam,
pemotongan ayam yang telah disediakan sebagai syarat pun dimulai, kemudian
dipanggang. Lalu ayam yang telah dipanggang diletakkan diatas dulang kayu yang
tingginya ± 35 cm, kemudian ditutup dengan Tembola’ Bea’. Setelah persiapan
telah selesai, sang pujangga/penembang mengambil alih acara dan membuka takepan
yang biasanya berbahasa Kejawan (Bahasa Jawa kuno), disana ada pembaca, juga
ada penterjemah. Pembacaan takepan ini biasanya berlangsung hingga subuh.
Setelah matahari menawarkan sinarnya, tibalah waktunya untuk memulai
pencucian/pembersihan. Sang Pemangku mencabut mata Tombak dari tangkainya,
diturunkan secara tegak lurus, sama sekali tidak boleh pucuk Tombak diarahkan
ke salah satu arah. Lalu mulailah digosok-gosok dengan jeruk nipis dan
bahan-bahan lain, dan terakhir di olesi dengan minyak kelapa yang khusus
terbuat dari kelapa gading. Setelah Tombak Penjenengan dianggap bersih, lalu
mata tombak dipasang kembali dengan berhati-hati yang disaksikan yang hadir di
halaman sebuah rumah itu. Setelah pencucian Tombak Selesai, lalu tiba giliran
senjata-senjata yang diikut sertakan dicuci, dan di akhiri dengan doa yang
dipimpin Keyai. Doanya dalam bahasa Sasak, (Penulis tidak hafal doanya, hanya
masih teringat sedikit-sedikit. Kalau tidak salah:....Jin mara jin mate, setan
mara setan mate....selamet Nabi Muhammad...). Selanjutnya setelah selesai
pembacaan doa, lalu dilaksanakan makan bersama disekitar Tombak Penjenengan.
Panggangan ayam dibagi-bagi kepada yang hadir hari itu. Sekedar untuk
diketahui, bahwa sebelum Upacara selesai, ayam panggang termasuk isi dalamnya
tidak boleh diganggu, apalagi dimakan. Apabila ada yang secara sengaja atau
tidak memakan sedikit saja ayam itu, maka Pemangku menyatakan Upacara
penghormatan tidak sempurna (sala’), dan bisa mendatangkan musibah.
Sampai tahun
1950 upacara penghormatan kepada Tombak Penjengan masih tetap dilaksanakan.
Tapi mengingat ajaran Islam, cara penghormatan itu berlebihan, sehingga
beberapa orang Keyai mengatakan hal itu syirik. Dan semenjak penulis menjabat
sebagai Kepala Desa pada tahun 1951, penulis dengan maksud agar penghormatan
kepada Tombak Penjengan tidak berlebihan. Penulis mendekati Pemangku/pemelihara Tombak dan memberikan
penerangan agar penghormatan kepada Tombak tidak mendekat ke Syirik. Akhirnya
berangsur-angsur kebiasaan itu mulai berkurang, dari syarat ayam yang 9 ekor
menjadi 7 ekor, dari 7 menjadi 3 ekor, dari 3 ke 1, dan akhirnya tidak ada sama
sekali. Setelah Pemangku Tombak, Amaq Kawinah meninggal dunia, Tombak
Penjenengan itu diserahkan untuk dirawat kepada anak saudaranya bernama “Amaq
Saharip” yang berumah di dasan Lunggu Desa Montongbetok (Tapi kini menjadi
wilayah Desa Pesanggrahan setelah terjadi pemekaran pada tahun 2011). Setelah
berganti pemeliharaanya, tidak ada lagi yang memperhatikan Tombak Penjenengan,
lebih-lebih generasi muda sama sekali tidak tahu bahwa desanya memiliki senjata
pusaka yang sangat bersejarah dan memiliki peranan penting dalam terbentuknya
desa Montongbetok. Perlu pula diketahui, itu tahun 1966. Suatu pagi Amaq
Kawinah yang tergesa-gesa datang kerumah Kepala Desa (penulis) dengan memasang
muka sedih, takut, juga cemas. Melapor bahwa mata Tombak Penjenengan telah hilang
dirumahnya tadi malam. Penulis berusaha menenangkan Amaq Kawinah dengan niat
guyon/kelakar, mengatakan: “Tenang saja, kalau memang benar itu barang baik,
tentu ia akan kembali dengan sendirinya.” Benar saja, esok harinya, itu masih
pagi buta, Amaq Kawinah datang kerumah penulis dengan wajah yang tak seperti
kemarin, mungkin dengan sedikit takzim mengatakan mata Tombak itu sudah
kembali, di jumpainya terselip gapit pintu pekarangannya.
Tentang
kembalinya mata Tombak yang secara gaib itu, tentu muncul pertanyaan: Apakah ia
benar kembala dengan sendirinya? Atau dikembalikan oleh maling yang mungkin
mencurinya? Kita tak pernah tahu. Tapi menurut penulis, bahwa mata Tombak itu
dikembalikan oleh si mencuri mata Tombak itu. Sebab setelah saya menerima laporan
hilangnya mata Tombak itu, secara rahasia saya panggil bekas murid saya bernama
“Loq Ruslan” yang dikenal suka mencuri. Mula-mula saya tuduh ia sebagai
pencuri, tapi ia tetap tak mau mengaku. Kemudian saya minta tolong agar dia
mencari mata Tombak itu, kalau tidak, maka dirinya akan saya anggap yang
mencurinya.
Demikianlah
sepintas kilas sejarah Tombak milik Raden Sakra/Raden Belian yang dinamakan
“Tombak Penjenengan” yang merupakan warisan sejarah desa yang sangat perlu
penting dijaga dan dilestarikan keberadaanya karena peranannya dalam
terbentuknya desa kita tercinta Montongbetok.
L.
SEJARAH RUMBUK
Sakra, setiap kampung
diwilayah Sakra dan sekitarnya atau bahkan di seluruh pelosok tanah air
tentunya tidak dinamai sekedar sebut saja, namun harus melalui sebuah tahapan
panjang karena menyangkut etos dan semangat serta nilai filosofis bagi warga
kampung tersebut, sebagai salah satu desa yang paling populer di lombok timur,
walaupun tidak sepopuler ibukota kecamatan sakra Desa rumbuk menyimpan sejuta
filosofi, sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang putra daerah asal
Desa Rumbuk Kecamatan Sakra, Rahmat Hidayat.
Rumbuk terletak
digaris perbatasan antara kecamatan selong di sebelah timur (batu Beleq) dan
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukamulia (Dasan Lekong) sedangkan
sebelah selatannya berbatasan dengan kecamtan Sakra Timur (Montong Tangi) dan
disebelah barak berbatasan dengan Desa Sakra sebagai pusat pemerintahan
kecamatan sakra, meskipun tidak sepopuler desa sakra Rumbuk mampu mencetak generasi-generasi
tangguh dan mampu melju kelvel-level nasional dan lokal sekelas bupati dan
kepala daerah.
Selain
dirinya sederet nama tokoh-tokoh papan atas juga berhasil mencatatkan namanya di pentas
nasional adalah berkat semangat dan kerja keras dari karakter unggul yang
dimiliki masyarakat rumbuk jelasnya, rumbuk sebenarnya memiliki makna Bertambah
Diambil dari kata Rombok dalam bahasa pejanggik yang bermakna bertambah,jelas
rahmat sembari sumringah. atas alasan itulah putra-putra daerah asal rumbuk
semakin giat berlomba-lomba menunjukkan prestasinya di tingkat lokal maupun
nasional jelasnya.
M.
LOMBOK TIMUR
1. Sejarah
a.
Sebelum Perang Asia Timur Raya
Masa pemerintahan Belanda terkenal dengan politik pecah belahnya. Rakyat
selalu diselimuti kebodohan serta keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan.
Pada masa itu, menurut pembagian geografis, Lombok Timur disebut Onder
Afdeeling van Oost Lombok dengan kedudukan Controleur di Selong. Pada tingkat
bawah terdapat Kepala Distrik yaitu antara lain: Distrik Pringgabaya dikepalai
oleh Lalu Noersaid, Distrik Rarang Timur yang berpusat di Selong dikepalai oleh
Lalu Mesir, Distrik Masbagik dikepalai oleh H. Moestafa, Distrik Sakra
dikepalai oleh Mamiq Mustiarep, Distrik Rarang Barat dikepalai oleh H.
Kamaloedin. Sedangkan distrik yang agak luas diangkat seorang Asisten Distrik
yaitu Mamiq Muhammad yang menjabat sebagai Asisten Distrik Pringgabaya dan
Mamiq Ripaah yang menjabat sebagai Asisten Distrik Masbagik Timur yang berpusat
di Masbagik Timur.
Dibawah Distrik ini adalah Kepala Desa yaitu orang kaya atau orang
berpengaruh. Setiap desa dilengkapi oleh keliang, tempek, dan beberapa pekasih.
Pada masa itu dalam dunia pendidikan yaitu hanya terdapat dua jenis sekolah
yaitu di tingkat desa terdapat sekolah desa (volkschool) sampai kelas 3 dan di
tingkat distrik terdapat vervokschool yaitu lanjutan sekolah desa sampai kelas
5. Vervokschool ini hanya terdapat di Pringgabaya, Selong, Masbagik dan Sakra.
Di selong pada waktu itu juga terdapat SD yang berbahasa Belanda yaitu
Schalkeschool yang dikelola yayasan “Anjah Sasak” asuhan dr. Soejono.
Menjelang tahun ’40-an di Selong dibuka sekolah kursus guru yaitu Cursus
Volk Onderways yang lulusannya menjadi guru sekolah desa, sedang guru sekolah
lanjutan yaitu lulusan Normal Cursus Singaraja Bali.
Pihak swasta juga pada masa itu sudah mendirikan sekolah. Salah satunya
yaitu Organisasi Muhammadiyah mendirikan Madrasah Diniyyah Islamiyah di Selong,
Serta NWDI yang mendirikan Madrasah Tsanawiyah di Pancor pada Tahun 1935.
Sebelum itu pada sekitar tahun 1930-an Madrasah Al-Irsyad didirikan di Labuhan
Haji.
Meski dalam pendidikan umum sangat terbelakang, namun dalam pendidikan
agama, rakyat Lotim sangat fanatik. Banyak ulama dari daerah ini antara lain:
yaitu TGH Moh. Harits Mansyur di Pohgading dari kalangan Muhammadiyah, TGH.
Zainuddin AM, TGH. Umar dari Kelayu, TG.
Badar dari Pancor dll.
Sejak tahun 1940-an berdiri kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah yang
dipimpin pemuda dari Yogya yaitu Muhasan Malaka, Abd. Muin, dan Sahabuddin.
Semangat nasionalisme pada waktu itu tidak bisa berkembang, baru pada
1930-an datang seorang Muballigh Muhammadiyah asal Yogya datang ke Selong
menanamkan semangat kebangsaan dan pantang menyerah yang cukup berhasil .
b. Masa Pendudukan Jepang
Di Pulau Lombok Jepang mendarat pertama kali di Ampenan pada tanggal 8 Mei
1942. Selanjutnya pada 12 Mei 1942 rakyat menyambut gembira datangnya Jepang di
Labuhan Haji dan di Lapangan Kota Selong (Sekarang Masjid Agung Al-Mujahidin),
yang kemudian pada akhirnya kecewa karena Merah Putih dan lagu Indonesia Raya
dilarang berkibar dan berkumandang
Untuk melanjutkan pemerintahan Sipil tentara Jepang mengangkat pegawai dari
bangsa Jepang dan Bangsa Indonesia. Kepala Pemerintahan Lotim bentukan jepang
disebut Tobu Lombok Bunken Kanrikan. Sistem pemerintahan Jepang pada waktu itu
sangat otoriter yaitu adanya Romusha yang membangun benteng pertahanan di
Tanjung Ringgit yaitu berupa terowongan dan meriam.
Di bidang Pendidikan pada masa ini banyak di buka sekolah-sekolah, antara lain yaitu sekolah
guru empat tahun ( Sihan Gakko) di Selong. Pada 1942 sekolah guru ini dipindah
ke Mataram. Di sekolah-sekolah ini diajarkan tentang bahasa jepang dan
pelajaran geopolitik Asia Timur Raya
yang diarahkan pada pemujaan kejayaan Jepang. Di sekolah ini juga serta di
kantor-kantor diwajibkan melakukan senam (taiso), siang hari latihan militer
(kyoren) dan pada sore diadakan kerja bakti ( kinrohisi), demikian pula apel
bendera menghormati bendera Hinomaru yang didahului hormat membungkuk 45’.
Lama kelamaan sejak pendudukan jepang, kondisi ekonomi masyarakat sangat
parah karena hasil pertaniannya diserahkan pada jepang. Hutan di Pringgabaya
ditanami kapas, pohon bambu, sapi, ayam,telur diambil secara paksa dari rakyat.
Akibatnya rakyat banyak yang sakit, bahkan sampai mati kelaparan.
Akibat dari keadaan yang mengenaskan ini, rakyat saling curiga satu sama
lain. Tidak sedikit yang menjadi korban kempetai (kaki tangan jepang). Salah
satu kempetai yang sangat ditakuti yaitu Wayan Yatra yang mati mengenaskan
dengan cara gantung diri di penjara Mataram sekitar pertengahan tahun 1946.
c. Menyambut Proklamasi
Kemerdekaan
1) Keadaan Menjelang Proklamasi
Pertengahan Agustus 1945, sebanyak empat orang anggota Syu Kai Giin (wakil
rakyat) dari Lombok yaitu: R.N. Noeraksa, Mamiq Fadelah, Go Sin Tjong, dan I
Nengah Metera yang akan mengikuti konferensi sehubungan dengan persiapan
penyerahan Kemerdekaan Indonesia dari Jepang kepada Bangsa Indonesia. Akhirnya
konferensi ini batal karena di dalam perjalanan, mereka mendengar Jepang
menyerah kepada sekutu.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Ken Kanrikan daerah Lombok menyelenggarakan
rapat di Mataram. Dalam rapat tersebut diumumkan bahwa Jepang telah berdamai
dengan sekutu, tetapi keamanan masih dipegang Dai Nippon.
Pertengahan September 1945 para pelajar asal Sumbawa yang sekolah di Jawa
pulang. Salah satu pelajar itu adalah Lalu Mandja yang berasal dari Sumbawa
mengumumkan bahwa pengumuman kemerdekaan di Surabaya telah diumumkan pada rapat
umum tanggal 9 September 1945.Atas berita ini Pemerintah Daerah Lombok
mengadakan rapat dengan seluruh tokoh masyarakat di gedung Mardibekso Mataram
yang mengahasilkan keputusan bahwa rakyat Lombok bertekad menyambut Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan secepatnya membentuk badan-badan perjuangan.
2)
Pembentukan Badan-Badan
Perjuangan
Badan-badan perjuangan yang pertama-tama berdiri di daerah Lombok yaitu
Komite Nasional Indonesia Daerah Lombok, Badan Keamanan Rakyat, PMI, dan BBI
yang berdiri pada 8 Oktober 1945.
Pembentukan badan-badan ini dimulai ketika utusan Gubernur Sunda Kecil R.
Hollan yang membawa surat tugas dari Gubernur Sunda Kecil Gusti Ketut Poedja
yang berisi penunjukan Made Putu Wirya sebagai formatur pembentukan KNI Daerah
Lombok disertai utusan dari Jawa Soekardani dan Soekardi.
KNI Daerah Lombok ini diketuai Hasmo Soewignyo dengan anggota Lalu Danilah,
Lalu Serinata, Selamet, D.A. Comenit, Made Putu Wirya, Lalu Oesman dll., sedangkan
BKR daerah Lombok diketuai Soekotjo dengan dibantu Soekardi, Rameli, Mursayid,
Hanafiah dll. Sementara itu Barisan Buruh Indonesia diketuai Soemantri
dengan beberapa pengurus lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya, di Lombok Barat dibentuklah organisasi
Persatuan Umat Islam Lombok (PUIL) yang didirikan oleh H. Mustajab, H. Said,
Moerdikun, Hamzah Karim, H. Musannif, H. Saroedji, Abd. Hakim, Moh. Zain, H.
Hanan, H. Djalaluddin.
Setelah dibentuknya badan-badan perjuangan tersebut maka segeralah diadakan
rapat-rapat umum untuk mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan. Rapat umum itu
berurutan dari tanggal 15 Oktober 1945 di Lapangan Mataram, 16 Oktober 1945 di
Lapangan Praya, serta pada tanggal 17 Oktober 1945 di Lapangan Selong.
Di Lapangan Balapan Kuda (sekarang Lap. Nasional) Selong, rapat umum ini
dihadiri puluhan ribu rakyat Lombok Timur. Karena pada saat itulah untuk
pertama kali Bendera Merah Putih dikibarkan dan disambut dengan kegembiraan dan
tangis haru. Teriakan kemerdekaan membahana dimana-mana bahkan lencana Merah
Putih melekat pada topi dan baju siswa, pegawai, pemuda dan rakyat.
Kemudian dibentuklah badan-badan perjuangan di Lombok Timur. KNI Lombok
Timur untuk pertama kali dipimpin Dr. Kt. Noeridja, dengan R.B. Moedjiman,
Noersana, Rasjidi, Joesoep Tajib Napis, H. Nasroeddin, serta Made Gelgel
sebagai wakil ketua. BKR dengan kepengurusan Poetrajab, Mas Asmo, Atjih Harta,
Hasan, Moh. Amin, serta Inang Bin Alam.
PMI dengan susunan kepengurusan Dr. Kt. Noeridja dibantu Sedek, Kasimoen,
Arsinah dll. Juga dibentuk BBI dengan pengurus Mas Soedarmo, R. Rakso Atmojo,
Soewono serta bagian Logistik yaitu Made Raken, Oemar, Moertondo dll.
Selanjutnya pengumuman kemerdekaan dilanjutkan pada tingkat distrik. Dalam
setiap rapat umum dibentuklah KNI dan BKR kedistrikan, di Distrik Pringgabaya
KNI dipimpin oleh Mamiq Muhammad, L. Thohir dll, BKR dipimpin L. Abd. Rahman
dan L. Wirasakti, Di distrik Masbagik KNI dipimpin oleh Mamiq Noersim dan L.
Sjoekoer sedangkan BKR dipimpin Moehammad dll. Di Kedistrikan Rarang Barat yang
berpusat di Sikur KNI dipimpin oleh R. Soekro, sedang BKR dipimpin oleh H.
Abdoel Hamid, H. Abdurrahim dll. Kedistrikan Sakra KNI dipimpin L. Roeslan, dan
BKR dipimpin Aroeman. Untuk Asisten Distrik Masbagik yang berpusat di Aikmel
juga dibentuk KNI dengan pimpinan Mamiq Ripaah, Mamiq Indra, dan Yoesoef,
sedang BKR dipimpin L. Djaya, Rawisah, Abd. Rahim, Abdollah, Bapak Yah dan H.
Abd. Rahman.
Selain KNI, BKR, PMI, dan BBI, berdiri juga Lasykar BASMI pada nopember
1945 di Aikmel dan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bertujuan membasmi
siapa saja yang menghalangi kemerdekaan dan mencari senjata Jepang.
Dalam perjalanan waktu Lasykar BASMI ini di bentuk juga di Pringgasela,
Kalijaga, Mamben, dan Lenek. Lasykar BASMI ini dikepalai oleh Sayid Saleh dari
Pringgasela. Lasykar ini bersenjatakan kelewang, keris, bateq, bambu runcing,
dll, dengan keyakinan bahwa membela negara adalah wajib dan fi sabilillah
Pada tanggal 17 Januari 1946, API cabang Lombok Timur dibentuk di Selong. Pada hari itu juga berkumpullah
BKR dan Para pemuda dari seluruh distrik. BKR dan Lasykar rakyat ini sambil
jalan kaki melakukan Takbir dan pekik merdeka sepanjang jalan. Sejak pagi
mereka berangkat menuju Lapangan Balapan Kuda untuk menunjukkan kekuatan mereka
sebagai tantangan kepada sikap Jepang yang mengambil alih pemerintahan di
Lombok Timur. Dari Distrik Pringgabaya sekitar 2000 orang pasukan bergabung
dengan pasukan yang dari Aikmel berjalan kaki sejauh 30 Km menuju Selong.
Akibatnya adanya pawai kekuatan
dari pemuda dan BKR ini, maka pada tanggal 17 Januari 1946 para pimpinan BKR
seperti Poetradjab yang jadi guru di Teros dan Lalu Thohir yang mengajar di
Pringgabaya di ancam akan dipindahkan ke Gondang dan Tanjung Lombok Barat,
tetapi keduanya menolak sehingga dipecat jadi guru.
Setelah terbentuknya badan perjuangan sampai di tingkat distrik, maka
segera diadakan rapat umum di berbagai desa guna memberikan penyadaran kepada
rakyat tentang pentingnya hak dan kewajiban sebagai bangsa yang merdeka,
pentingnya persatuan dan kesatuan, serta upaya apa yang harus dilakukan untuk
mempertahankan kemerdekaan.
d. Perlawanan Rakyat Terhadap
Pendudukan Jepang
Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi pembuka mata hati rakyat Indonesia dan
Lombok Timur bahwa bangsa kita punya harga diri dan tidak ingin ditindas.
Penjajah harus enyah dari bumi Selaparang Lombok Timur, senjata mereka harus
direbut. Saat itulah Pemuda-pemuda Lotim dengan segenap kemampuan menggelorakan
perlawanan rakyat Lombok Timur.
Desember 1945 tentara Jepang dipencar ke Labuhan Haji, Wanasaba, Lendang
Marang, dan Timba Nuh dengan alasan menjaga keamanan rakyat tetapi sebaliknya
mereka melucuti rakyat.
Sejak Desember 1945 Jepang kembali mengambil alih kursi pemerintahan dengan
alasan keamanan tidak terjamin. Pada waktu itu Lombok Barat dan Lombok Tengah
menyerah kepada Jepang, sedangkan Lombok Timur tetap konsisten sama sekali
tidak bersedia menyerahkan pemerintahan kepada Jepang. Kepala Daerah Lombok
R.N. Noeraksa mencoba membujuk Kepala Pemerintah Lombok Timur Mq. Fadelah untuk
menyerahkan kekuasaan, namun sikap beliau yang didukung para pimpinan
perjuangan Lombok Timur tetap pada
pendirian sama sekali tidak bersedia menyerahkan kekuasaan karena jika
menyerahkan kekuasaan maka dicap berhianat kepada pemerintah RI. Gagal membujuk lewat rapat resmi. R.N. Noeraksa mengajak Mq.
Fadelah, Mq. Ripaah, dan Mq. Muhammad berunding di Suela, namun uasaha itu juga
gagal.
e. Penyerbuan Markas Tentara
Jepang di Barangpanas
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini harus diupayakan dengan segenap
kekuatan didukung dengan senjata. Walaupun Lasykar-lasykar umumnya terdiri dari
orang-orang yang yakin perjuangan mereka diridhoi Alloh SWT dan umumnya
memiliki senjata dari tentara Jepang unruk menghadapi kemungkinan-kemungkinan.
Markas tentara jepang di Barang panas, Timbanuh dan Lendangmarang menjadi
incaran tempat merampas senjata. Di Pringgasela, Sayid Saleh selaku komandan
Lasykar BASMI yang terdiri dari kumpulan masyarakat Anjani, Masbagik, Rempung,
Pringgasela dll.
Dengan dukungan tokoh masyarakat, ulama dll, sebanyak 85 orang pemuda pada
malam Rabu 11 Desember 1945 bersenjatakan kelewang, keris, golok menyerbu
markas Jepang di Barangpanas desa Kembangkuning. Namun penyerangan ini gagal
karena Lasykar BASMI ini terdiri dari tokoh agama Islam yang taat tetapi
mempunyai kemampuan militer yang kurang mumpuni. Pertempuran ini memnyebabkan 5
orang pejuang gugur di medan tempur yaitu Bapak Hawa, Bapak Minah, Bapak
Muhammad, Bapak Selamah, dan Alam. Jenazah mereka dimakamkan di Pringgasela,
baru pada tanggal 17 Nopember 1962, kerangka kelima pejuang tersebut
dipindahkan ke Makam Pahlawan Rinjani Selong.
Peristiwa ini semakin menggelorakan para pemuda Lombok Timur. Semangat
kemerdekaan semakin tebal. Api perlawanan suci dari keteguhan agama Islam
menjadi alasan kuat memberontak kepada Jepang.
f. Penyerangan Markas Jepang Di
Wanasaba
Wanasaba merupakan suatu desa yang berada dalam wilayah Distrik Masbagik
Timur yang berpusat di Aikmel. Di Desa Wanasaba ini ada sebuah pos tentara
Jepang untuk menjaga padi yang dikumpulkan di tempat itu. Pada saat itu rakyat
memang sangat tidak senang kepada Jepang. Oleh karena itu, sepak terjang
tentara jepang membuat pemuda lasykar menjadi mendidih.
Puncaknya di Tembeng Putik, desa Mamben Lauk para pemuda melkukan gangguan
terhadap tentara jepang yang berpatroli. Karena ada gangguan tersebut maka
jepang menambah kekuatannya.
Sore Hari Senin 17 Desember 1945 ratusan lasykar rakyat Tembeng Putik
menyerang pos tentara Jepang di Wanasaba dengan senjata seadanya didorong
keyakinan “sabilillah” maka dengan suara takbir “Alloohu Akbar” rakyat maju
menyerbu. Disaat pejuang sudah dekat, Jepang melepaskan tembakan di udara,
namun dengan semangat pantang mundur mereka tidak gentar sedikitpun.
Penyerangan ini sedikitnya menyebabkan 6 pejuang gugur yaitu: H. Syamsuddin, H.
Tahir, Amaq Djainur, Amaq Djahrah, Amaq sapinah, Amaq Muadah, mereka dimakamkan
di Tembeng Putik.
2. Perlawanan Terhadap NICA
Pada tanggal 18 Maret 1946, sekutu yaitu Inggris bertugas melucuti Jepang
di Indonesia mendarat di Ampenan. Kedatangan Sekutu yang semula disambut
gembira oleh rakyat berubah menjadi kecurigaan karena sekutu datang membonceng
NICA.
Belanda dengan NICAnya sebelum mendarat di Lombok terlebih dulu menguasai
Sumbawa untuk memonitor situasi Lombok. Melihat situasi maka NICA tidak berani
mendarat di Lombok Timur karena sepanjang pantai di Lombok Timur dijaga pemuda
BKR. Koordinator penjaga tersebut antara lain Soedarjo di Pantai Labuhan Haji,
Poetrajab dan Lalu Sahak di Pantai Ijobalit sampai Korleko dan Lalu
Abdoerrahman di Pantai Pringgabaya sampai Sambelia.
Tanggal 19 Maret 1946, Pimpinan tentara sekutu Pitter Kamm melakukan
pertemuan dan menyatakan pemerintah di Lombok diambil alih sekutu. Tentu
pernyataan itu sangat ditentang pimpinan pro republik. Maka pada hari itu pula
NICA menunjukkan belangnya dengan menangkap para pimpinan badan-badan
perjuangan baik di Lobar, Loteng, maupun di Lombok Timur sendiri.
Karena sudah merasa aman dari gangguan rakyat, maka pada 27 Maret 1946
tentara NICA mendarat di Lembar. Pada hari itu juga Bendera Belanda dikibarkan kembali,
larangan-larangan kembali diberlakukan. Belanda menarik simpati rakyat dengan
cara membagi-bagikan sandang,pangan,permen dll kepada rakyat.
a)
Mempersiapkan Aksi Terhadap
NICA
Masuknya NICA membuat para pejuang yang tidak ditangkap menjadi khawatir.
Oleh karena itu, mereka secara sembunyi-sembunyi melakukan koordinasi dan
menyampaikan informasi satu sama lain karena. Taktik ini dilakukan karena NICA
selalu melakukan pengawasan terhadap anggota BKR dan Lasykar BASMI. Di Selong
para pejuang tidak menampakkan aktivitasnya karena berusaha menghindar dan
menyebar ke desa-desa. Para pemuda Selong langsung berhubungan dengan Sayid
Saleh selaku pimpinan Lasykar Pringgasela. H. Moh. Faesal di Pancor diam-diam
mempersiapkan santrinya sebagai pasukan. Sementara Lasykar Tebaban dikoordinir
Syah, Maidin dkk.
Untuk menghindari pengawasan NICA, para pemuda API mengadakan rapat di
Selong. Rapat ini dilakukan sebagai arena mufakat untuk pergi ke Jawa dan
Makassar untuk mencari bantuan senjata. Esok harinya, Muh. Syah, Maidin dkk,
berangkat ke Lb. Lombok tetapi mereka dicegat NICA ketika mau menaiki perahu.
Salah satu pemuda Selong yaitu M. Salikin juga berencana ke Jawa tapi
persembunyiannya di Lb. Lombok juga digerebek NICA. Pada akhirnya M. Salikin di
angkut ke Surabaya dan dimasukkan ke dalam penjara Kaliosok.
Di Otak Aik Pancor, terjadi pertemuan singkat antara Djumhur Hakim yang
saat itu sebagai kepala BKR Lendang Nangka, dengan H. Misbah (Kepala Desa
Masbagik) dan Mq. Rojihatun (BKR masbagik). Kelanjutan pertemuan di Otak Aik
Pancor itu, pada tanggal 11 Mei 1946 Mq. Muhammad, Djumhur Hakim, Lalu Sahak,
R. Soekro, Mohasioen, dan Mas Soemidjan. Hasil perundingan mereka antara lain:
1) Mengusahakan agar pimpinan yang masih dalam tahanan secepatnya dikeluarkan
2)
Akan menghimpun kekuatan untuk
mengadakan aksi terhadap NICA
3) Membentuk organisasi perjuangan bernama Badan Perjuangan Rakyat Indonesia
(BPRI)
Selanjutnya terjadi pertemuan di rumah H. Misbah Masbagik pada 27 Mei 1946.
Pada pertemuan itu Sayid Saleh mendesak agar secepatnya melakukan serangan
terhadap NICA sebelum keburu ditangkap. Akhirnya untuk melaksanakan mandat
Sayid Saleh tersebut, para pemuda pejuang seperti R. Soekarso, R. Soejatim,
Soewoso, H. Akhmad Rifai, Mastoer Rais, Lalu Djumudin, dan Badaroeddin
berkumpul di rumah M. Asmo di Selong. Tak ketinggalan para pelajar Lombok Timur
yang sekolah di Mataram seperti Lalu
Muslihin dan Muchtar juga ikut menentang NICA karena Kepala Sekolah mereka
ditangkap dan diganti oranorang NICA.
Melihat pergerakan-pergerakan pejuang itu, NICA menjadi resah. Dan keresahan
itu terbukti ketika pada Mei 1946 Lasykar Banteng Hitam pimpinan Djumhur Hakim
mulai melakukan gangguan kepada NICA. Gangguan tersebut berupa pengibaran
bendera Merah Putih di depan sekolah Dwi Sempurna, penempelan bendera Merah
Putih berukuran kecil di Pasar Sapi Masbagik, dan penempelan spanduk atau
plakat di Gapura Masjid Masbagik yang berbunyi: “Kepada saudara-saudara putra Sasak disampaikan ucapan terima kasih atas
sambutan saudara-saudara. Kepada saudara putra Indonesia suku Ambon insyaflah
akan panggilan ibu pertiwi. Kepada bangsa asing terutama Tionghoa jangan
menghalangi perjuangan suci kami. Ketahuilah pimpinan-pimpinan RI sedang
mengadakan perundingan dengan H.J. Van Mook pimpinan NICA. Jawa, Madura,
Sumatra sudah diserahkan kecuali Borneo, Selebes, Kepulauan Maluku, Nuiginia,
Kepulauan Sunda Kecil sedang dalam penyelesaian. Ketahuilah Banteng Hitam sudah
lama bersarang di Pulau Lombok. Tunggu tanggal mainnya”
Tulisan plakat ini membuat NICA marah besar, NICA menghujani plakat ini
dengan peluru sambil menantang Banteng Hitam. Kaki tangan NICA berkeliaran
mengawasi rakyat. Rakyat diperalat untuk antipati kepada Banteng Hitam. Bukti
berhasilnya hasutan NICA itu, muncul plakat yang berbunyi: “Hai Banteng Hitam
tunjukkan hidungmu ! rumah potong hewan sudah sedia ! pisau sudah tajam, akan
kami babat kamu menjadi lawar” di salah satu rumah potong hewan di Kopang.
Oleh pemuda Kopang plakat tersebut dibalas dengan tulisan: “Sekali Merdeka!
Tetap Merdeka! Hidup Merdeka atau Mati! ” di tembok masjid Pengoros.
Lasykar Pejuang di Lombok Timur menetapkan tanggal 2 Juni 1946 sebagai
waktu yang tepat menyerang markas tentara NICA di Selong. Berita ini tersebar
ke seluruh pelosok Lombok Timur, bahkan sampai ke Lombok Barat yaitu dengan
dibuktikan bahwa beberapa hari sebelum penyerangan para pimpinan perjuangan
yang ditahan di Mataram mengetahui rencana itu dari mandor penjara.
Sehari sebelum penyerangan secara diam-diam Sayid Saleh pergi ke Tebaban,
Pancor, dan Anjani untuk menyiapkan Lasykar. Penyerangan ini diatur pembagian
tugas. Lasykar Tuntel pimpinan Yek Ismail dan Saman langsung ke Pancor. H.
Machsun mengatur strategi di Kokok Masbagik Daya, sementara H. Misbah memimpin
pemutusan kawat telepon dan memasang rintangan agar NICA yang membantu dari
Mataram tidak bisa lewat.
Singkat cerita penyerangan ini gagal karena NICA memprovokasi rakyat dengan
mengatakan bahwa akan ada perampok dari jurusan barat menuju Selong. Masyarakat
Pancor diancam jika perampok bisa masuk Pancor maka NICA tidak segan-segan akan
membumihanguskan Pancor. Di Rempung rakyat diancam akan dibakar desanya jika
tidak mau keluar rumah untuk menghalangi pasukan Sayid Saleh. Oleh karena
itulah, Sayid Saleh dan pasukannya mengurungkan niat menyerang NICA karena
khawatir akan terjadi pertempuran dengan sesama rakyat.
b)
Pertempuran 7 Juni di Selong
Setelah gagalnya penyerangan markas tentara NICA pada tanggal 2 Juni 1946
dan penangkapan para pemimpin pejuang di daerah, para pejuang yang masih bebas
dari tangkapan NICA mengadakan hubungan-hubungan dan koordinasi untuk
mengadakan perlawanan kembali.
Pada hari Kamis, 6 Juni 1946 di rumah H. Muhammad, desa Pringgesela,
penyerbuan itu direncanakan. Bersama Sayid Saleh, Djumhur Hakim dari
Lendangnangka, Muh. Syah dan Maidin dari Selong, Sayid Salim dari Tebaban, Amaq
Arisah dari Anjani membahas taktik penyerangan. Hari itu juga Sayid Saleh
dengan Djumhur Hakim pergi ke Lenek dan Kalijaga untuk menghimpun laskar yang
akan bergabung dengan Lasykar Sayid Saleh di Pringgesela nanti. Diputuskan
penyerbuan harus dilakukan secepatnya sebelum pihak NICA mengadakan
penangkapan-penangkapan kembali. Strategi penyerbuan diatur. Lasykar-lasykar
pejuang dari Tebaban, Dasan Borok, Suralaga, Anjani, dibawah pimpinan Sayid
Salim, Amaq Arisah, Muh. Syah dan Maidin akan mengadakan penyerangan dari
sektor utara.
Lasykar dari Pringgesela, Lendangnangka, Kumbung, Danger, Kalijaga dan
Lenek mengadakan konsentrasi di Danger untuk kemudian bergerak ke Selong.
Pasukan ini akan memasuki Kota Selong dari Sektor Utara.
Pimpinan pejuang rakyat dari Pancor, H.Moh.Faisal, mengadakan koordinasi
dengan Sayid Saleh di Pringgasela. Dicapai kesepakatan untuk mengadakan
konsentrasi pasukan di Bungbasari pada tengah malam sebelum penyerbuan.
Selepas Sholat Asyar, Lasykar BASMI pimpinan Sayid Saleh dari Pringgasela
bergabung dengan Lasykar Banteng Hitam pimpinan Djumhur Hakim di Pertigaan
Kultur. Kemudian berikutnya bergabung juga lasykar-lasykar dari Kumbung dan
Danger. Menelusuri jalan-jalan kecil yang aman dari incaran kaki tangan NICA,
pasukan bergerak secara sembunyi-sembunyi melalui Lendang Keseo, Rumeneng,
Utara Padamara ke Timur Paok Pampang. Ditempat ini bergabung lasykar dari Dasan
Lekong pimpinan Lalu Muhdar menuju Pancormanis, ke pertigaan Denggen menuju
Batu Belek, ke dusun Ketangga melalui utara Gunung Kembar sampai tempat
konsentrasi pasukan di Bungbasari. Di Bungbasari strategi penyerbuan markas
NICA di Kota Selong dimantapkan.
Hari Jum’at malam Sabtu tanggal 7 Juni 1946 dini hari dengan suara takbir
yang bergemuruh “ Alloohu Akbar “ Lasykar-lasykar pejuang Lombok Timur dengan
bersenjatakan keris, golok, kelewang, bambo runcing dan lain-lain mengempur
Markas Gajah Merah milik tentara NICA. Mendahului pasukan lainnya Sayid Saleh
dan kawan-kawannya mengamuk dengan kelewangnya membabat tentara NICA yang panik
karena serangan mendadak ini. Ketika Lasykar-lasykar berikutnya mulai merangsek
maju, baru tentara NICA ini mulai menyadari serbuan ini.
Pasukan Lasykar Rakyar mundur teratur karena tidak dapat mengimbangi
peralatan persenjataan musuh. Persenjataan memang senjata tradisional,
diketahui waktu itu senjata api berupa pistol hanya sepucuk yang dipegang oleh
H.Moh.Faisal.
Malam itu pada pertempuran 7 Juni 1946 di Kota Selong, Sayid Saleh bersama
H.Moh.Faisal, dan Abdullah gugur di markas tentara Gajah Merah. Sementara di
pihak NICA sejumlah 8 orang yang tewas. Malam itu secara rahasia semua tentara
NICA yang tewas ini diangkat dan dikuburkan di Mataram.
Pada esok harinya ketiga jenazah pejuang ini dimakamkan oleh para santri
dari perguruan NW Pancor. Atas petunjuk TGH.Muhammad Zainuddin Abd.Majid,
jenazahnya dimakamkan sebagai sahid di perkuburan umum Selong.
Tidak seimbangnya kekuatan dalam perlawanan rakyat ini memang sudah dapat
dibayangkan. Terbatasnya pengalaman perang dari Lasykar dan rakyat sangat
berpengaruh, disamping tersedianya persenjataan. Strategi yang tidak didukung
penguasaan sandi-sandi peranng menyebabkan lemahnya pertukaran informasi antara
Lasykar. Lasykar rakyat hanya dibekali tekad dan semangat, serta keyakinan akan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tiada pilihan lain “ Merdeka atau Mati”.
Akhirnya sejak pertempuran ini, NICA menghasut rakyat untuk berdemonstrasi
keliling kota Selong untuk memojokkan pejuang-pejuang. Banyak pejuang dari
sekitar Pringgabaya, Masbagik, Lendang Nangka, Lenek, Tebaban, Gapuk, Rumbuk,
Lepak, Rarang, dan Dasan Lekong ditahan di penjara Selong dan sebagian dikirim
ke penjara Denpasar dan Ambon.
Keadaan seperti ini berlangsung sampai penyerahan kedaulatan tanggal 27
Desember 1949. Bersamaan dengan itu pula masyarakat Lombok Timur menyambut
hidup baru yaitu bebas dari penjajahan.
2 komentar:
terimaksih infonya sangat menarik, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2PFnTLA
siap...
Posting Komentar