Kitab ini ditulis dalam bentuk kidung
dan isinya riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja Majapahit.
A.
Nama Asli
Raden Wijaya
merupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit.
Nama ini terdapat dalam Pararaton yang
ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya
secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti,
pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden
belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis
pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar "dyah"
merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal
gelar "Raden". Istilah Raden sendiri diperkirakan
berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli
pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti
Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294.
Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah
lebih sering digunakan.
B.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari.
Ia dibesarkan di lingkungan Kerajaan Singhasari. Menurut Pustaka
Rajya Rajya i Bhumi Nusantara ,disusun oleh Kesultanan Cirebon
dan termasuk kedalam Naskah Wangsakerta
yang keberadaanya kontroversial bagi kalangan sejarawan karena dianggap
aspal (asli tapi palsu). , Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakyan
Jayadarma dan Dyah Lembu Tal.
Ayahnya adalah putra Prabu
Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda
Galuh, sedangkan ibunya adalah putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari.
Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa. Setelah Rakyan Jayadarma tewas
diracun musuhnya, Lembu Tal pulang ke Singhasari membawa serta Wijaya. Dengan
demikian, Raden Wijaya seharusnya menjadi raja ke-27 Kerajaan Sunda
Galuh. Sebaliknya, ia mendirikan Majapahit setelah tewasnya raja Kertanegara, raja Singhasari terakhir, yang merupakan sepupu
ibunya.
Kisah di atas
mirip dengan Babad Tanah Jawi
yang menyebut pendiri Kerajaan Majapahit bernama Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja Kerajaan Pajajaran,
yang juga terletak di kawasan Sunda. Jaka Sesuruh
melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang bernama Siyung Wanara. Ia kemudian membangun Kerajaan Majapahit
dan berbalik menumpas Siyung Wanara.
Berita di atas
berlawanan dengan Nagarakretagama
yang menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Lembu
Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan merupakan ayah dari Dyah
Wijaya.
C.
Silsilah Keluarga
Raden Wijaya
dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya
sebagai anggota Wangsa Rajasa.
Menurut Nagarakretagama,
Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal,
putra Narasinghamurti.
Menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa
Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng
putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.
Menurut prasasti
Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang
putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari,
yaitu Tribhuwaneswari,
Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan menurut Pararaton,
ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak, yaitu salah satu dari dua putri
yang dibawa kembali dari Melayu oleh pasukan yang
dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu
pada masa kerajaan Singhasari. Dara
Petak merupakan salah seorang putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja
Melayu dari Kerajaan
Dharmasraya.
Menurut prasasti
Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari
Tribhuwaneswari bernama JayanagaraSedangkan Jayanagara menurut Pararaton
adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra
Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun ada juga
pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri
Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga
juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa dia yang dinikahi orang
yang bergelar dewa.
D.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut Prasasti
Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan
Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap
kekuasaan Kerajaan Singhasari.
Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk
menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari.
Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih
besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal
itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara
Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah
timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura
untuk bertemu Arya Wiraraja
penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya
Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari
tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang,
maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat
pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada
Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah
membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang
hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat
berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun
sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana.
Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun
mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah
maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya
tersebut pun diberi nama Majapahit.
E.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293
pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa
untuk menghukum Kertanagara, karena
pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang
dikirim Kubilai Khan
raja Mongol.
Raden Wijaya
memanfaatkan kedatangan
pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengajak Ike Mese untuk
bekerjasama. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa
dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk
kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang yang
mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk
menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak
Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura
bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang
akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Setelah
Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit
mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga.
Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang
mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan
Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese
kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan
Jawa.
Wijaya kemudian
menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya,
penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan
Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan
dengan 12 November 1293.
F.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah
Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan.
Nambi diangkat sebagai patih
Majapahit, Lembu Sora sebagai patih
Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294
Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu
melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295
seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut
Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi
sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit.
Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya
mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal
setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di
Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300
terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan
Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan
kejam oleh Kebo Anabrang,
Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini
diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada
puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas
dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
G.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal
dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan
dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu
dan Siwa. Raden Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja penerusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar