Pupuh I dari kitab kidung Sunda disebutkan
nama raja kerajaan Majapahit yaitu Hayam Wuruk, nama Hayam Wuruk ini diangkat
juga oleh kitab Pararaton, inilah kaitannya dan kenapa dikatakan bahwa kitab
Kidung Sunda dan Pararaton adalah 2 kitab saling menguatkan yaitu dalam
peristiwa perang Bubat. Teramat aneh kalau masyarakat menerima sebutan raja
Majapahit Sri Rajasanagara dengan Hayam Wuruk, Hayam adalah kata dalam bahasa
Sunda yang mempunyai arti Ayam, sedang Wuruk sama kata dalam bahasa Sunda yang
mempunyai arti jago lebih kearah jagoan kelahi. Inilah hebatnya yang
mempromosikan kitab Pararaton sehingga nama Hayam Wuruk seolah-olah benar nama
sebutan atau panggilan dan tidak tanggung-tanggung nama seorang raja besar
kerajaan Majapahit. Bahkan pemerintah pun mengakui sebutan itu.
“
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi
tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak
sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000
kapal, berikut kapal-kapal kecil. Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang
Sunda menaiki kapal semacam ini. Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah
pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah
“jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.”
(bait 1. 43a.)”.
Informasi
penting yang diperoleh dari sebagian petikan kitab Kidung Sunda diatas salah
satunya yaitu mengenai jumlah armada rombongan dari Kerajaan Sunda Galuh, yang
terdiri dari 200 buah kapal ukuran kecil, jumlah total armada itu sekitar 2.000
buah perahu terdiri dari sebagian besar jumlah kapal dalam ukuran besar
ditambah 200 kapal dalam ukuran kecil.
Hitungan
matematis sederhana, kalau dimisalkan 1 buah perahu rata-rata memuat atau
membawa awak 10 orang, berarti jumlah rombongan sekitar 20.000 orang, ini
jumlah yang terlalu over dosis atau berlebihan untuk sebuah acara perkawinan.
Bayangkan lagi kalau muatannya dalam 1 buah perahu minimal mengangkut rata-rata
awak 20 orang, berarti jumlah rombongan bisa mencapai sekitar 40.000 orang, dan
itu juga bukan jumlah sedikit, jumlah itu cukup untuk sebuah rencana menggempur
atau menyerang suatu negara atau kerajaan lain pada saat itu.
Perjalanan
berlayar dari tanah Sunda ke tanah Jawa ujung timur dengan memakai
perahu-perahu, pasti bukanlah jenis perahu kecil-kecil yang digunakan.
Perahu-perahu ini mestinya harus bisa memuat jumlah personil atau awak perahu
lebih dari 30 orang dalam 1 buah perahu, kalau dihitung lagi dan dijumlahkan
dari rata-rata 1 buah perahu memuat awak 30 orang, maka total jumlah orang akan
mencapai jumlah kisaran lebih dari 60.000 orang, jumlah yang cukup fantastis
dan ideal untuk sebuah rencana penyerangan, sekaligus membumihanguskan kerajaan
seperti Majapahit yang notabene mereka sedang sibuk melakukan invasi ke luar
wilayah kerajaannya.
Teknologi
maritim atau tehnologi pembuatan perahu, lalu kemudian disesuaikan dengan
keberadaan kerjaan Sunda Galuh yang masa perdamainya ratusan tahun lamanya,
tentunya pembuatan perahu dan tehnologi akan sangat dimungkinkan, bisa jadi
hasil membeli dari negara lain seperti yang diungkapkan bahwa perahu-perahu
besar yang digunakan mirip dengan perahu-perahu tentara Mongol waktu menyerang
kerajaan Kediri masa pemerintahan Jayakatwang, terlebih punya hubungan
kedekatan sejarah dengan kerajaan Sriwijaya yang terkenal mempunyai teknologi
maritim yang unggul, ditambah lagi pendanaan yang cukup untuk membeli atau
membuat kapal atau perahu sejumlah itu.
Tradisi
Jawa atau dimana pun dalam pernikahan, laki-laki yang harus datang ke tempat si
calon istri, bukan malah sebaliknya. Seandainya raja Sunda Galuh dan pasukannya
pada kisah kitab Kidung Sunda itu dikatakan merasa terhina sebagai alasan untuk
berperang pada saat itu, dengan diceritakan bahwa mereka harus dan diminta
takluk secara militer oleh Gajah Mada, maka secara logika akal sehat sebenarnya
itu tidak mungkin, kalau alasanya seperti itu, artinya dari awal dia sudah
menghinakan diri dengan datang mengantar sang putri Citraresmi sebagai calon
istri raja Majapahit Hayam Wuruk (atau Sri Rajasanegara), kisah ini paradoks
tentunya, tidak bisa diterima. Walau pun mungkin pada daerah-daerah tertentu
atau kondisi khusus ada yang seperti itu yaitu si pihak calon istri yang datang
ke pihak laki-laki tapi itu tidak bisa disebut kebenaran umum.
Dalam
kitab Kidung Sunda itu pula dibahas tentang Gajah Mada yang disalahkan oleh
para seniornya (para penguasa Wilayah Daha dan Kahuripan) dikeraton kerajaan
Majapahit yang merpakan paman Hayam Wuruk, yaitu ketika berakhirnya perang
Bubat, tapi mengapa dalam kitab kidung Sunda dinyatakan bahwa diantara pimpinan
Sunda Galuh termasuk rajanya yang terbunuh, bahwa merekalah (para senior) yang
melakukannya. Ketika peristiwa itu berlangsung, suatu hal yang tidak singkron
satu sama lain yaitu Hayam Wuruk ikut serta dalam peperangan itu. Disini
realistik juga, kelihatan jelas sisi fantasi si pengarang, dalam kenyataan
perang sesungguhnya siapapun bisa saling membunuh tidak hanya pembesar dengan
pembesar, prajurit biasa pun bisa membunuh seorang raja, atau bisa jadi mereka
tidak terbunuh langsung tapi karena terkena panah atau tombak jarak jauh.
Walau
pun ada sisi sentimentil dari Kidung Sunda itu yang mengatakan Hayam Wuruk
menyesalkan kematian Dyah Pitaloka atau Citraresmi yang dikisahkan bunuh diri.
Padahal kematian seperti itu bagi yang sudah sering mengalami peperangan adalah
sesuatu hal biasa apalagi ajaran yang dianut memungkinkan si istri atau
keluarga mengorbankan diri setelah suami atau orang tuanya tiada, atau memang
secara kemanusiaan walaupun perang adalah suatu pilihan, melihat ribuan orang
melayang jiwanya, tentunya sebagai kesatria perang semua melakukan penghormatan
kepada pihaknya sendiri ataupun pihak lawan dengan rasa duka mendalam.
Dalam
kitab Kidung Sunda juga dijelaskan ada utusan dari Majapahit ke kerajaan Sunda
Galuh, yang diceritakan dan diterangkan membawa maksud dari raja Hayam Wuruk
untuk melamar puteri kerajaan. Analisa yang mungkin untuk kejadian atau saat
peristiwa datangnya utusan dari Majapahit, adalah bahwa utusan kerajaan
Majapahit itu sebenarnya utusan kerajaan untuk meminta raja Sunda Galuh untuk
tunduk dan takluk dibawah kerajaan Majapahit, pola utusan-utusan seperti itu
hal biasa kalau salah satu kerajaan punya keinginan untuk menaklukan kerajaan
yang lainnya, semacam peringatan tidak menyerang tiba-tiba tanpa alasan. Pada
akhirnya kalau diterima berarti kedua belah pihak berdamai dengan syarat-syarat
ditentukan bersama, kalau sebaliknya kedua belah pihak harus sudah
mempersiapkan diri untuk memulai peperangan.
Seandainya
perang itu sudah diniatkan oleh Raja Sunda Galuh, pertanyaannya adalah mengapa
pramesuri dan putri keraton ikut serta. Hal ini mudah dijawab, karena asumsinya
perjalanan panjang, sebuah rencana operasi militer dari tanah Sunda ke
Majapahit setidaknya memerlukan waktu yang lama. Pastinya ada kapal-kapal utama
yang nyaman untuk mereka, dikapal-kapal besar sudah tentunya bisa untuk anggota
keluarga kerajaan melakukan kegiatan yang tidak terganggu oleh kondisi perjalan
perang dari prajurit-prajuritnya yang lain, bisa dibuat senyaman mungkin.
Keikutsertaan
mereka dalam perjalanan pertempuran adalah hal biasa, seperti halnya pasukan
Mongol yang melakukan perjalanan panjang (long march) ke negara lain,
mereka sering membawa serta keluarganya, sekaligus mereka bisa dimanfaatkan
dalam persiapan upacara keagamaan sebelum memulai peperangan dan lain
sebagainya. Dalam waktu-waktu tertentu bisa jadi untuk motifator bagi pasukan
dan sang raja, menambah semangat tempur prajuritnya.
Jumlah
sekitar 2000 buah kapal adalah kemegahan yang sangat luar bisa, masuk akal bagi
kerajaan Sunda Galuh yang hidup makmur dan besar secara luas wilayah
kekuasaannya, ingin menunjukan superioritas perekonomian dan kemampuan dana
mereka. Pasukan besar yang dipimpin raja Sunda Galuh itu merupakan hal wajar,
gabungan dari koloninya, daerah-daerah kerajaan bawahan kekuasan kerajaan Sunda
Galuh pada waktu itu. Jumlah itu merupakan jumlah pasukan tentara gabungan dan
pasti ada keyakinan dari mereka dapat mengalahkan pasukan tentara kerajaan
Majapahit yang kemungkinan sebagian besar pasukanya masih melakukan ekspedisi
atau invasi keluar wilayah ke negara atau kerajaan lainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar