A.
ADAT DAUR HIDUP
PRE-NATAL
Semasa anak
dalam kandungan seorang ibu, banyak sekali larangan-larangan yang sifatnya
psikologi educative yang dilakukan secara spiritual dan moral agama
diberlakukan terhadap seorang ibu yang mengandung anaknya dan juga petunjuk
larangan atau anjuran yang diberlakukan bagi seorang ayah. Seorang ibu dan
Bapak semasa kehamilan dipanggil Amaq dan Inaq Tebon (Tebon; Panjang rambut)
dimana calon kedua orang tua itu dipantangkan untuk mencukur rambutnya (dibiarkan
gondrong bagi calon ayah) dan bagi perempuan tidak boleh dipotong dibiarkan
menjurai dikeramasi dengan santan bercampur abu pangkal buah padi kentan yang
sudah ditumbuk (sasak: Joman)., maksudnya agar sang anak kelak berpenampilan
bersih dan teratur.
Campuran air
santan itu dijadikan bedak kramas pada ibu yang sedang mengandung dapat
dilakukan sekurang-kurangnya sekali seminggu pada setiap jumat pagi. Larangan
lain bagi calon orang tua anak itu baik ayah maupun ibunya ialah tidak boleh
memaki-maki, tidak boleh membunuh binantang yang dianggap kramat di rumah dan
binatamng peliharaan, tidak boleh bergosip dan mencela orang lain. Justru
kegiatan yang dianjurkan adalah berkata yang baik, tidak memaki dan mencela.
Tidak boleh mnertawakan/mencela orang yang punya cacat fisik meskipun kenytaaan
sebenarnya demikian. Laki-laki tidak boleh memotong binatang ternak agar kelak
anak yang dilahirkan memiliki belas kasihan pada sesama dan mahluk ciptaan
Tuhan lainnya. Makna semua larangan tersebut adalah untuk membersihkan hati
agar anak yang lahir berhati nurani yang baik. Secara umum aura ( inner beuty)
atau “melik” sudah mulai dididikkan semenjak anak dalam kandungan Selanjutnya
secara lahiriah semua prilaku mendidik pada masa pre-natal diwujudkan dalam
upacara adat daur hidup yang disebut dengan yang dalam bahasa Jawa disebut “
mitoni”. Upacara adat ini diadakan setelah memasuki bulan ketujuh sejak tidak
mengalami.
B. UPACARA ADAT SAAT MELAHIRKAN
Menjelang anak akan lahir
sesudah kandungan memasuki kandungan ke 9 si ibu tidak boleh melakukan kegiatan
yang berat, bahkan melakukan kegiatan dapurpun dikurangi, agar sang ibu
benar-benar siap menghadapi tugas berat melahirkan. Sang ibu juga memakai
remapah-rempah; beras-kunyit-daun jeruk nipis dan sekuh untuk belangir (sasak:
beboreh) agar kondisinya tetap sehat. Sementara si suami disarankan untuk
memperbanyak sedekah, walaupun sekedar serabi (jajan tepung beras) sebagai
simbul dari sedekah yang paling kecil dari orang yang tidak mampu. Hal ini dimaksudkan
agar anak kelak memiliki rasa kasih sanyang kepada sesama. Menjelang bayi akan
keluar diminta bantuan seorang belian nganak / dukun melahirkan
(laki/perempuan) obat-obat penyejuk dan pelancar melahirkan berupa air suci yang
didoakan dengan mantra Sasak.
Ketika anak
keluar dari perut ibunya : si anak langsung dipeluk oleh ibu dan bapaknya agar
darahnya menyatu dengan badan kedua orang tuanya agar sang anak menyayangi
orang tuanya, setelah itu baru keluarga yang lain. Setelah itu baru dimandikan
oleh sang dukun. Begitulah cara mengingikat kasih sayang. Khusus bagi keluarga
yang mampu setelah sang bayi dibersihkan dipakaikan pakaian dengan rapi dibuat
rowah syukuran mengundang keluarga dekat dengan hidangan sederhana. Sebelum
sang bayi mengenal makanan yang lain di haruskan disusui oleh ibunya , makanan
pertama diberikan adalah nasi “papak” yang dikunyah oleh ibunya sendiri, baru
setelah itu bayi dikasi makan dari pisang yang digiling halus.
C. UPACARA ADAT DAUR HIDUP PASKA KELAHIRAN
Upacara
menanam ari-ari ( nalet adik –kakak ). Acara ini dilaksanakan setelah ari-ari
bayi terpotong dengan menggunakan pisau dari bambu yang diambil dari para-para
( sasak :edas tereng ) . Edas tereng tersebut dianggap telah steril karena
setiap hari mendapat asap dari tungku dapur. Biasanya ari-ari yang dipotong
dengan edas tidak menimbulkan penyakit “ tetanus”. Ari-ari yang ditanam harus
ditanam dipelataran rumah serambi depan. Setelah ditanam diatas gundukan
diatarukkan batu lalu dikurung dengan kurungan ayam. Diatas dibatu dinyalakan
lampu agara anak kelak memiliki hati yang terang dan setia (sasak: isah). Lampu
dinyalakan sampai dengan upacara medak api atau buang au sekurang-kurangnya
pada hari kesembilan setelah dilahirkan.
D. UPACARA DAUR HIDUP MEDAK API ATAU BUANG AU
Upacara
ini dilaksanakan sekurang-kurangnya sejak sembilan hari sejak kelahiran bayi
dengan mengadakan acara keramas bersama, ibu si bayi dengan ibu-ibu keluarga
dan tetangga terdekat dengan hitungan ganjil. Kegiatan ini juga disebut medak
api karena pada saat itu mereka membakar joman dengan disertai kepeng bolong 99
biji di atas “tepak” (wadah dari tembikar ) lalu di kucurkan air santan..
Adonan itu digunalkan untuk kramas dan uang bolong di bagikan sebagai sedekah
(shalawat). Jumlah 99 tersebut sebagai simbul Asmaul Husna. Sisa abu yang
dipakai keramas di hanyutkan disungai atau ke laut,sehingga disebut dengan
medak api atau buang au. Setelah itu biasanya kurungan diangkat dan lampu di
padamkan namun ada juga yang membiarkannya sampai 44 hari. Upacara ini dapt
dikaitkan dengan daur hidup yang lain dengan upacara “ Ngaranin” dan “ turun
tanak” dan lebih dari itu dilakukan upacara “ngurisan” potong rambut”. Bagi
upacara yang mampu kegiatan ini dilakukan dengan acara kenduri yang dinamakan
rowah asal kata roh atau arwah, sebagai sambungan turun temurun dari nenek
moyang leluhurnya dengan mengundang kiyai dan tetangga sekitar. Upacara adat
ini masih dalam keadaan anak bayi masih merah disebut dengan “bebeak”.
E. UPACARA NGARANIA
Jika
upcara “ngaranin” (pemberian nama) tidak dikaitkan dengan upacara medak api
maka secara khusus diadakan upacara pada hari ganjil biasanya diambil pada
malam jumat. Pada masa sebelum ke Islaman belum memasuki masa perkembangan pada
saat upacara ini dibacakan kitab lontar Indarjaya atau Puspakarma. Setelah
perkembangan pemahaman Islam makin maju masyarakat sasak biasanya memeriahkan
acara dengan pembacaan hikayat yang diambil dari kitab Kisasul Ambiya.
Nama-nama yang diberikan adalah nama yang kental dengan budaya sasak. Misalnya
: Galeng, Isin, bokah atau kebiasaan masyarakat Sasak lama memebri nama anaknya
dengan nama- nama yang berakhir dengan konsonan. Misal : Sanep, Nurmalam,
Ketip, Kerdep. Nasip. Ada juga dikaitkan dengan nama-nama lakon foklor /
legenda Sasak dan pewayangan. Sering juga ditemui penamaan anak-anak dengan
pengaruh bahsa jawa meskipun disesuiakan denga lafal yang berbeda.
F. UPACARA TURUN TANAK
Upacara
ini dilakukan sebagai tanda anak boleh menginjakkan kaki ketanah (sasak:lemah)
sebelumnya harus tetap di gendongan. Sang anak akan disembeq /sepah seluruh
bagian tubuhnya dari kening sampai telapak kaki agar anak memiliki kekebalan
terhadap penyakit.
G. UPACARA NGURISAN
Upacara ini
menandai bahwa anak memasuki usia balita ditandai dengan potong rambut, upacara
dapat dilakukan di masjid, rumah keluarga dan di makam keramat, juga dikaitkan
dengan hari-hari besar seperti Maulid, Lebaran Topat, dll. Piranti yang
disiapkan adalah air kumkuman, kepeng bolong, bunga setaman, beras kuning,
benang katak, uang bolong atau uang logam dan selawat (uang) khusus sebagai
tanda kesaksian bagi yang hadir. Dalam upacara rowah (kenduri) selain hidangan
nasi dan lauk pauk yang diwadahi talam (dulang begibung) disediakan pula dulang
penamat yang menyimbulkan proses kehidupan manusia sejak manusi lahir – hidup
dan mati. Proses kelahiran menurut sasak dibagi atas meniwok bagi tumbuhan,
menelok bagi binatang bertelur, menganak bagi binatang memamah biak, simbul
tersebut ada dalam dulang penamat. Maka harus ada topat dan bantal sebagai simbul
laki dan perempuan dan buah-buahan sebagai simbul yang meniwok dan nasi rasun
berisi daging sebagai simbul binatang yang menyusui melahirkan. Dulang Penamat
dihiasi pula oleh buah-buahan dan jajan tradisional sebagai lambang kemakmuran.
Sisa potongan rambut sang anak kalau tidak ditanam maka akan di hanyutkan ke
laut agar anak kelak tidak cepat kena penyakit. Proses upacara ini diringi oleh
seni slakar berupa himne dikarang oleh syeh Al- Barzanjanzi yang dipimpin oleh
seorang Hadi.
H. UPACARA BESUNAT
Upacara
besunat atau hitanan khusus bagi anak laki-lakim upacara bekikir bagi anak
perempuan. Sebagai simbul perpindahan anak-anak ke jenjang usia remaja. Dalam
upacara di selenggarakan rowah kepada leluhur di ikuti dengan dulang penamat.
Besunat dilakukan oleh belian sunat(bayan: Penjalak) , untuk anak besunat
disediakan andang-andang agar terjauh dari bala. Andang diwadahi oleh soksokan
berisi beras sekurang-kurangnya sekobok, segulung daun sirih, pinang berjumlah
ganjil ( 3-5-7) baik pinang muda (buaq odaq) atau piang tua ( buaq toaq ),
gambir, kapur pamaq ( kapur sirih) , benang setukel / lawe dan uang bolong
dalam jumlah ganjil. Andang-andang adalah simbul keberkahan ilmu sang belian
sekaligus sebagai penghargaan terhadap keahlian sang belian. Untuk anak besunat
disiapkan kain khusus dengan tongkat pengganjal agar kain tidak tersentuh
bagian luka ujung kelamin. Biasanya disiapkan pula tempat duduk kelapa tua
hijau agar darah tidak banyak mengucur keluar. Pada saat anak besunat diringi
dengan selakar atau selawat oleh orang-orang yang menyaksikan. Begitu alat
vital dipotong sang orang tua mendekap sang anak dipinggangnya, dengan maksud
menekan keluar darahnya agar tidak terlalu banyak keluar. Makanan yang
disiapkan untuk si anak adalah jeroan hati tanpa bumbu untuk pengganti darah
yang keluar. Makanan tersebut tanpa bumbu agar menghindar dari infeksi.
Dilarang memakan kacang tanah , ikan laut, telur agar tidak gatal. Sebelum
disunat diadakan acara menghibur dengan arak-arakan di sebut Praja Busunat
diiringi dengan kesenian tradisi. Sebelum di sunat sang anak berendam
(Sasak:bekerem) di sungai lalu pulang untuk dilakukan “penyembean” ( diberi
tanda dengan kunyahan daun sirih) lalu didandani. Untuk menyenangkan hati sang
anak dilakukan arak-arakan dengan menggunakan “Praja Busunat” dapat berbentuk;
Juli Jempana atau Jaranan/ Singa. Di saat ini Praja berbentuk macam-macam:
kendaraan, burung, ikan dll. Rowah besunat secara khusus dilakukan dalam
keluarga. Dalam tradisi Sasak juga dilakukan BEGAWE Nyunatan / pesta Hitanan.
Jenis Begawe : Begawe Banjar ( begawe Beleq dan Begawe Ngatak ) dan Rowah
Mesilak Masaq (hanya untuk laki-laki). Besunat untuk perempuan disebut “ Besuci
“ yakni pemotongan pemotongan ujung kelentit. Pada masa yang lalu besuci
merupakan syarat peng-Islaman untuk perempuan.
I.
UPACARA BEKIKIR
Upacara
Bekikir adalah upacara potongan gigi atau ngotonin, yakni memotong ujung gigi
para gadis oleh tukang gigir. Sebagai simbul dari status anak-anak menjadi
remaja juga dimaksud untuk menguatkan gigi atau disebut “pasek beton” atau “
Ngotonin/beroton”.
J.
PENGARUS UTAMAAN ANAK DALAM PEMBAGIAN TUGAS KERJA.
1. Dalam
rumah tangga baik anak laki-laki maupun perempuan sudah memiliki tugas kerja
untuk membantu orang tua. Dalam urusan rumah tangga , anak perempuan tugas utamanya
mengambil air minum dan “beremok” ( mencari potongan kayu untuk memasak) dan
bertugas untuk membawa makanan ke sawah (Sasak: ngater). Anak laki-laki petani
betugas membantu ayah untuk memegang tali sapi dan menyabit rumput ( Sasak :
ngawis).Pengajaran keterampilan bagi anak-anak disesuaikan dengan tingkat usia
mereka.
2. Dalam
pembagian tugas ketika belajar ngaji (baca Alqur-an dan Agama ) santri
perempuan bertugas menyapu halaman dan mengambil air untuk wudu santri lainnya.
Bagi Santri laki-laki membantu Guru kegiatan di sawah. Kebon dan berternak.
3.
Dalam kegiatan
“Begawe” perempuan menjadi inen beras / menik untuk laki-laki menjadi amen
jangan atau ran.
K.
PENGARUS UTAMAAN ANAK DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Hukum
yang digunakan dalam warisan berdasarkan hukum Islam dua pertiga untuk
laki-laki ( sepelembah) sepertiga untuk perempuan ( sepersonan ) dengan
variasi, anak laki-laki terkecil/bungsu mendapat tambahan rumah, untuk anak
perempuan selain pembagian utama tadi mendapat pembagian tambahan pekakas rumah
tangga ( sasak : isin bale ). Alasan mengapa anak bungsu mendapat rumah karena
ia paling singkat mendapat kasih sayang dari morang tuanya, sedang untuk anak
perempuan diberikan barang-barang-barang perlengkapan dapur untuk menjadi
barang bawaan ke rumah suaminya. Umumnya orang tua sang perempuan sangat malu
jika anaknya tidak membawa perlengakpan rumah tangga ini kerumah menantu
laki-lakinya.
L.
PENGARUS UTAMAAN ANAK DALAM KERAPAN ADAT KELUARGA
Dalam
Penetapan harga adat/ aji krama dan gantiran/ atau pisuke, peran perempuan
sangat menentukan. Sebab standar pemberian gantiran berpatokan pada harga adat
sang ibu. Bagi anak perempuan yang kawin mendahului kakaknya baik laki dan
perempuan dikenai denda “pelengkak” berbentuk keris bagi laki-laki dan
seperangkat kain bagi perempuan.
M.
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (SASAK: TERTIP TAPSILA)
Anak-anak
laki-laki diajarkan cara berbusana adat yang benar termasuk “seselepan”
menyandang senjata. Anak-anak diajarkan berbgai keterampilan sopan santun untuk
menyampaikan undangan ( Sasak : Pesilaan ), cara bertamu dan menyambut tamu.
Orang tua masa lalu mendidik anaknya dengan kemampuan : Tata Krama, Base Krama,
Lindi Krama. ( Tata tutur, tata laku dan tata tertib). Pengenalan unggah-
ungguh basa krama bagi terhadap anak-anak dalam komunitas sasak untuk mengenal
lebih dini adeb (adab) budi pekerti dalam pergaulan sosial. Orang tua
membahasakan setiap perintah, ajakan maupun ajaran secara educatif menggunakan
bahasa halus madia sebagai penghormatan dengan maksud untuk mendidik dan mengajar
anak-anak untuk mengetahui kedudukan diri terhadap orang lawan bicara yang
dihormati. Misalnya ; Orang tua untuk mengatakan kamu pada anaknya di ucapkan
dengan kata “side” untuk makan di ucapkan “ngelor” atau “Medaran”, untuk pergi
(lalo) di katakan dengan ucapan “lumbar” dll. Kata-kata hujatan atau memaki
anak sangat tabu dalam adat Sasak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar