Sebagaimana
kaburnya sejarah wayang pada umumnya (terutama wayang purwa) yang sampai
sekarang masih meninggalkan tanda tanya dan masih menjadi pekerjaan rumah bagi
para budayawan, arkeolog, atau para pemerhati seni pertunjukan wayang kulit,
begitu juga dengan keberadaan Wayang Menak Sasak. Belum ada data akurat yang
dapat dijadikan alat pembuktian mengenai kapan Wayang Menak Sasak diperkenalkan
dan siapa yang pertama mendatangkan dan mempopulerkannya di pulau Lombok.
Sekalipun demikian, mengenai hal itu, terdapat beberapa sastra lisan yang
berkembang, atau cerita rakyat yang sampai sekarang dapat dijadikan acuan,
meskipun belum tepat betul karena tidak ada bukti yang kuat.
Berbagai sumber lisan yang memberikan
gambaran mengenai sejarah Wayang Menak Sasak, diantaranya dikemukakan oleh Amaq
Satriah. Menurutnya, konon di sebuah kampung bernama kampung Rembitan di bagian
Lombok Selatan, hidup seorang Wali: Wali Nyato'. Semasa kanak-kanak ia pergi
menonton wayang ke pulau Jawa. Bersama dengan teman-temannya, ia berangkat dari
Rembitan sekitar waktu isya dan pulang ke Lombok keesokan harinya
sebelum matahari terbit. Sepulang dari nonton wayang, ia menceritakan kepada
teman-temannya yang tidak ikut nonton tentang cerita wayang yang ditontonnya.
Setelah beranjak dewasa beliau mencoba menggelar pentas wayang, meski dalam
bentuk sangat sederhana. Waktu itu wayang terbuat dari ranting-ranting pohon.
Ceritanya berkisar tentang guru dan murid yang mengamalkan ilmu agama (agama
Islam).
Menurut penuturan I Gusti Muharta,
pada sekitar abad ke-16 menjelang kedatangan Islam di pulau Lombok, pernah
terjadi kemarau panjang yang berlangsung tidak kurang dari tujuh tahun lamanya.
Seluruh penduduk Gumi Sasak hidup dalam keadaan menderita. Berbagai upacara
dipersembahkan kepada kekuatan gaib pelindung desa. Kerajaan-kerajaan yang
berkuasa pada masa itu tidak mampu merubah keadaan, bahkan keadaan penduduk
semakin memprihatinkan.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
para raja yang ada di pulau Lombok mengadakan musyawarah. Hasil musyawarah
bersama itu memutuskan mengutus Datu Perigi pergi ke gunung Rinjani untuk
memohon petunjuk dari Dewa. Dalam masa pertapaannya, Datu Perigi didatangi oleh
seorang laki-laki yang mengenakan pakaian serba putih. Laki-laki tersebut
dengan tangan terbuka bersedia membantu membebaskan seluruh penghuni pulau,
tanpa terkecuali, dari bencana yang tengah melanda. Untuk tujuan penyembuhan
itu, pria berjubah putih tadi memberikan sesuatu semacam obat penawar kepada
Datu Perigi. Pria dengan jubah putih tadi berpesan: setiap mereka yang
diberikan penawar diharuskan terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat syahadat
dan menerima agama Islam sebagai agama mereka yang baru. Syarat tersebut
disanggupi Datu Perigi dan menerima penawar pemberian pria berbaju putih.
Usai menjalani masa pertapaan, Datu Perigi menyampaikan
amanat pria berjubah putih, yang konon bernama Sangu Urip Pati Atu yang
kemudian disebut Sangupati. Obat penawar pemberian Sangupati dibagi-bagi kepada
para penduduk yang membutuhkan. Setelah meminum penawar tadi, kesehatan
penduduk berangsur-angsur pulih kembali. Bersamaan dengan itu hujan pun mulai
turun menyirami bumi Sasak yang sudah sekian lama dilanda kemarau panjang.
Sebagai bentuk ungkapan rasa syukur, seluruh penduduk mengadakan pesta
besar-besaran. Pesta itu dinamakan Gawe Mangajengan, pesta mendirikan (dalam
hal ini pesta menganut agama baru yaitu Islam). Pesta bertempat di lendang Rembang
Lombok Timur. Dalam acara pesta itu, dipergelarkan Wayang kulit semalam suntuk.
Bertindak sebagai dalang adalah pangeran Sangupati.
Mengenai maksud dan tujuan pementasan
Wayang Kulit Menak Sasak tersebut, Gusti Muharta menuturkan bahwa pada awalnya,
pertunjukan dikhususkan untuk upacara-upacara keagamaan, yakni pemujaan kepada
para dewa-dewa dan nenek moyang (para leluhur) yang rohnya telah menduduki
posisi ke-dewa-an. Lama kelamaan, seiring dengan perkembangan zaman, tujuan
pementasan wayang tidak lagi sebatas alat pemujaan atas roh, pementasan wayang
juga digelar dalam rangka selamatan upacara pernikahan, sunatan dan pengobatan.
Lakon-lakon yang sering dipentaskan berhubungan dengan tema agama, sosial dan
budaya.
Menurut Amaq Patah, sejarah Wayang
Kulit Menak Sasak berkaitan dengan masa pemerintahan Anak Agung (Raja Karang Asem Bali) yang saat itu
menguasai pulau Lombok. Alkisah, Raja meminta dibuatkan wayang. Ia menyuruh
prajurit menyerahkan kulit sebagai bahan pembuatan wayang kepada seorang
seniman pencipta wayang. Mengetahui pesanan tidak dapat diselesaikan dalam
waktu yang ditentukan, seniman tadi ditikamnya.
Peristiwa aneh terjadi. Ketika Raja
mengangkat kulit bahan wayang yang belum selesai digarap, tiba-tiba kulit itu
telah terbentuk menjadi sebuah wayang, serupa Wayang Menak Sasak sekarang.
Melihat kejadian itu, Raja memerintahkan prajurit untuk memulihkan seniman yang
terluka kena tikaman, namun terlambat. Seniman tadi tewas. Akhirnya Raja
memerintahkan untuk menguliti tubuh seniman itu. Kulitnya dibuat menjadi tiga
bentuk wayang; Jayengrana (sekarang diperkirakan ada di Lombok Utara),
Munigarim (istri Jayengrana, dan diperkirakan ada di Lombok Tengah) dan
Gunungan atau kekayon (diperkirakan ada di Lombok Barat). Sayangnya, sampai
sekarang belum diketahui dimana keberadaan benda-benda tersebut.
Menurut sastra lisan yang berkembang
di masyarakat Sasak, ada dua tokoh yang dipercaya membawa wayang masuk ke pulau
Lombok. Mereka adalah Pangeran Sangupati dan Wali Nyato`. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa Pangeran Sangupati adalah murid dari Sunan Kalijaga (sekitar
tahun 1585 A.D.). Namun menurut Tawalinuddin, pendapat ini mengandung banyak
kelemahan, karena tahun yang diketengahkan terlampau tua, sementara Serat Menak
sendiri sebagai sumber cerita Wayang Menak Sasak waktu itu belum ada. Serat
Menak ada sekitar tahun Jawa 1639 = 1715 A.D.
Ada kemungkinan Serat Menak baru
masuk ke Lombok pada permulaan abad ke-18 yang dipakai sebagai propaganda
Islam.Pendapat mengenai masuknya Serat Menak ke Lombok diperkuat oleh Margana
dalam bukunya Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Ia berpendapat bahwa
kebudayaan Jawa di abad ke-19 adalah penerus peradaban Pasisir abad tujuh belas
dan delapan belas, yang pada masanya membentuk jaringan kultural antara
kota-kota maritim sepanjang Pasisir Utara Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Lebih
lanjut de Graaf menjelaskan pendapatnya sebagaimana dikutip Tawalinuddin:
melalui saluran perdagangan terbawa kitab-kitab kesusasteraan yang bernafaskan
Islam seperti Serat Menak, Roman Yusuf sebagai propaganda agama. Serat itu
mula-mula disebarkan melalui Gersik dan Surabaya, di mana keduanya merupakan
pusat perekonomian dan penyiaran Islam di Jawa Timur.
Hampir tidak ada sumber data mengenai
asal usul Wayang Menak Sasak yang memenuhi kriteria validitas. Meski demikian,
terdapat indikasi kuat bahwa Wayang Menak Sasak berasal dari Jawa dan Bali. Ini
dapat dilihat dari bentuk wayang dan cerita (naskah Serat Menak) yang
digunakan. Mengenai sejarah proses masuknya ke Lombok, belum ada sumber yang
secara detil menceritakan hal ini. Namun menurut dugaan kuat, Wayang Menak
Sasak masuk ke pulau Lombok seiring dengan masuknya agama Islam. Dalam masa
ini, seni wayang dimanfaatkan sebagai media propaganda agama Islam, sebagaimana
fungsi yang dikembangkan para misionaris (para Wali penyebar Islam) di Jawa
Vidio Wayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar