A.
LATAR BELAKANG
Terjadi perang Puputan Sabil antara Pejanggik dengan
pihak Karang asem. Sedang Pemban Mas
Meraja Kusuma mendapatkan hukuman moral tidak diperkenankan ikut puputan sabil
olehayahandanya, Pemban Mas Komala Kusuma. la tidak berani membantah perintah
ayahnya yang marah. la bertugas menyelamatkan apa saja yang masih diselamatkan
dan harus menyingkir ke Sumbawa sebagai penerus generasi mendatang
agar pada saatnya nanti dapat merebut kembali tongkat kekuasaannya yang
hilang.
Beliau
diiringi oleh sebagian pengawalnya, dan secara khusus dilindungi oleh benteng Petak Purwadadi yang kuat. Beliau menetap
dan membuka pemukiman baru sebagai perintis imigran Lombok di pulau Sumbawa
bagian barat dan mendirikan desa Jelenga di wilayah kecamatan Jereweh sekarang.
Merasa telah dilecehkan, beliau sendiri bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya di pulau Lombok. Tetapi
beliau mempersiapkan generasi penerusnya, Pemban Penganten Purwadadi sebagai putra mahkota pada generasi ke XI. la
dinobatkan sebagai raja dalam pengasingan didampingi oleh adiknya, Deneq Laki
MasOrpa, dan saudara dari selir, Rade Nune Ratmaja Tember.
Setelah kerajaan Purwadadi sebagai benteng terakhir Pejanggik dapat
dihancurkan oleh Karangasem dan Banjar Getas, para prajurit melarikan diri
ke hutan-hutan sekitarnya, sebagian lagi menyusul ke Sumbawa. Merasa sudah
mapan, pihak Karangasem merasa curiga atas perkembangan Banjar Getas.
Mereka mengetahui bahwa dendam Pejanggik lebih besar kepada Banjar Getas dari pada
Karangasem sendiri. Maka mereka pun mengirimkan utusan
untuk mempersilahkan Pemban Penganten Purwadadi kembali ke
Lombok dengan syarat mau menjalin hubungan baik dengan Karangasem dan Bini
Ringgit yang nantinya cukup memberikan peranan dalam sejarah Sakra, bahkan
Lombok pada umumnya.Pada tahun 1800 M datanglah rombongan dari Gowa di bawah pimpinan Karaeng Manajai,
menapaktilasi dan menilik keadaan bekas wilayah kekuasaan Gowa, Manggarai,
Bima, Dompu, Sumbawa dan Lombok. Di Lombok, beliau menemukan Selaparangyang
sudah runtuh dan menyaksikan jejak jejak kerajaan Pejanggik yang masih
mempunyai hubungan darah dengan Selaparang. DariLabuan Lombok beliau kemudian
berlayar menuju Labuan TanjungLuar menemui Deneq Laki Mas Orpa. Terjadilah
kesepakatan perkawinan yang berbau politik antara Pemban Bini
Ringgit, putridari Deneq Laki Mas Opra dengan Karaeng Manajai.
Sebelum perkawinan itu dilangsungkan, Karaeng
Manajai kembali dulumenyelesaikan urusannya di Goa. Barulah pada tahun 1805 M ia kembali
untuk menetap di Lombok dan kawin dengan Pemban Bini Ringgit. la ditugaskan di
wilayah Ganti yang berbatasan dengan Banjar Getas. Perkawinan tersebut
menghasilkan seorang putra bernama Dewa Mas Panji Komala yang nantinya
dalam usia yang sangat muda, memimpin perlawanan pertama Sakra terhadap kekuasaan
Karangasem. Seorang lagi putri hasil perkawinan Karaeng Manajai dan Pemban Bini
Ringgit bernama Denda Bini Nyanti.
Sebagai keturunan seorang pengembara, sejak muda DewaMas Panji Komala sudah memisahkan
diri dan tinggal di Beleka. Halitu dilakukan
juga atas perasaan kecewanya akibat ketegangan antaraorang tuanya. Ibunda Dewa
Mas Panji Komala, Pemban Bini Ringgit, merasa dilecehkan atas pernikahan
Karaeng Manajai dengan seorang gadis dari Gelanggang bernama La
Bunga.Perkawinan antara Pemban Bini ringgit dengan KaraengManajai dari Goa
ternyata cukup meresahkan para musuh bebeyutannya, yakni kerajaan-kerajaan
di Bali. Mereka resah dansangat mengkhawatirkan kondisi Karangasem yang sedang
dilanda persoalan internal antar puri dan berpotensi terjadi perang
saudaraantara Mataram, Pagesangan, Pagutan dan Singasari yang dianggaplebih
tua. Oleh karena itulah pihak Karangasem segera mendekatiSakra serta menuntut perlakuan yang sama melalui
perkawinan politik. Agaknya yang diincarnya adalah Dende Bini
Nyanti. Tetapi pihak Sakra justru
hanya mengirimkan puluhan gadis dari kalangan orang biasa saja untuk dipilih,
semuanya pun lantas ditolak dandikembalikan. Raja Karangasem kemudian
menyatakan akan datangsendiri dengan segala kehormatan dan kebesarannya.Menyikapi
rencana raja Karangasem tersebut, terjadilah silang-pendapat dan pengelompokan.
Mereka yang moderat dari kalangan para
tetua, terutama Karaeng Manajai sendiri, berpendapat sebaiknya tawaran
raja Karangasem tersebut diterima dengan sikap politis
juga. Hal itu dilakukan untuk mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi. Apabila memang sudah waktunya untuk merebut kembali tongkat yang
hilang bisa dengan mudah merebutnya dari pihak karangasem yang terancam perang saudara,
bila perlu meminta bantuan Sumbawa dan Goa untuk mencapai tujuan itu.
Disamping itu, jika Karangasem benar-benar dilanda perang saudara, siapa
tahu melalui perkawinan bisa ditaklukkan tanpa kekerasan.Di lain piha lk-,
terutama di kalangan orang-orang muda,muncul sikap militansi yang justru
dluukung oleh Pemban Bini Ringgit yang kecewa terhadap suaminya. Bahkan karena kejengkelannya
tersetut, ia menyebut suaminya orang luar yang tidak tahu perasaan rakyat
dan kawula bala yang setia dan siap matimembela kehormatan kerajaan Sakra
penerus Pejanggik. MenurutPemban Bini Ringgit, sekaranglah waktu yang tepat
memanfaatkan tidak rukunnya puri Singasari dengan para saudaranya.
Demikianlah,
diam-diam Sakra mempersiapkan diri menghubungi
berbagai pihak yang , diharapkan akan memberi dukungan. Bahkan untuk bisa
menarik dukungan Sumbawa, Gowadan orang-orang pesisir pantai, Dewa Mas Panji
Komala bersama ibudan adiknya ditarik masuk , Sakra. Dalam usianya yang sangat
muda,sekitar 16 tahun, Dewa Mas Panji Komala diangkat menjadi raja,sebagai lambang pemersatu sekaligus sebagai
senopati perang.Gerakan dimulai dengan membersihkan wilayah timur. Desa-desa
yang bersikap setengah hati dalam memberikan dukungan,digempur dengan
kekerasan, para pemimpin beserta anak¬istrinya disandera dan dibawa ke
Sakra. Meskipun kaget, Karangasem bergerak
cepat. Mereka berhasil meredam dan menunda perselisihan sesama mereka. Jika
benar-benar menang, pihak Sakra tidak akan pilih bulu untuk menghancurkan
saudara-saudara kerajaan Karangasem yang ada.
Pihak Karangasem menduduki Mendana, Mujur dan Kopang. Meskipun Mendana,
Mujur dan wilayah selatan berhasil dibersihkan kembali, akan tetapi Kopang
dibuat sebagai benteng
pertahanan yang sangat kuat, sehingga Raden Bendesa diKopang tidak dapat berkutik.Terlalu muda sebagai pemimpin dan tanpa
wawasan sertastrategi perang yang mapan memang sangat berpengaruh terhadap kualitas
kepemimpinan Dewa Mas Panji Komala, terutama di dalam pengambilan
keputusan. Desa-desa yang telah dibebaskan tidak diduduki, dan ketika
gagal menembus Kopang, para pasukan Sakramalah kembali pulang.
Konsolidasi kekuatan hanyalah berbentuk mengumpulkan orang sebanyak-banyaknya bertumpuk
di desa Sakra tanpa gerakan lanjutan.
Bebasnya wilayah timur dan terkumpulnya kekuatan yang besar membuat mereka
puas dan merasa diri telah menang. Nasihat yang tua-tua karena terlanjur
bergerak haruslah terus menyerang tidak digubris bahkan dijawab: "Kalau
memang benar Bali itu jantan, silahkan dia datang, kita tunggu disini
saja".Pusat desa memang ditata, dilengkapi petak jonggah yangkuat. Puri
yang ada sebelumnya diperbaiki, begitupula tempat tinggalibu suri Pemban Bini
Ringgit bersama sang raja Dewa Mas PanjiKomala. Memang benar, Dewa Mas Panji
Komala mempunyai kharisma yang sangat kuat, berwibawa dan pemberani, namun cenderung
nekat tanpa perhitungan. Terpaksalah yang tua-tua bergerak sendiri dengan
kekuatan terbatas mengusir kelompok-kelompok kecil prajurit, Karangasem yang
masuk mengganggu desa-desa yang telah dibersihkan.
Gangguan-gangguan itu merupakan strategi yang tepat agar Sakra terus
sibuk, sementara Karangasem mempersiapkan diri untuk serangan balik yang
mematikan. Sebaliknya di pihak Sakra malahmerasa puas, sibuk berpesta pora
mabuk-mabukan. Beberapa kali serangan besar yang dicoba
Karangasem memang selalu dapatdipatahkan, tetapi mereka tidak tahu bahwa pihak
Karangasemsedang mempersiapkan diri dengan prajurit yang lebih teratur
dan profesional serta dilengkapi dengan taktik dan strategi yang
cukup jitu.
B.
KERUNTUHAN
SAKRA (Sakra Bedah)
Karangasem menyadari, kendati pun Sakra yang semulahanya daerah kecil di
wilayah kekuasaannya, akan tetapi memiliki ketangguhan yang lebih dibandingkan
Pejanggik. Sakra sangat solid,merupakan pedaleman tunggal dan tidak memiliki
pedaleman lain di bawahnya, oleh karena itu wilayahnya sqngat utuh. Maka
tidak mudah mengalahkan Sakra dengan kekuatan konvensional. Dengan demikian
Karangasem benar-benar mempersipakan diri. Berbagai perlengkapan senjata
seperti bedil dan kapal (dengan nama Sri Cakradan Sri Mataram) dibeli dari Singapura. Selain itu,
untuk menambah kekuatan didatangkan pasukan
dari Karangasem dan Kelungkung.
Karangasem memerlukan persiapan sekitar tiga tahun untuk dapatmelawan Sakra
sambil melancarkan serangan-serangan kecil kewilayah Sakra. Seolah-olah hanya
kekuatan kecil itu yang dimiliki Karangasem, hingga saat itu pun tiba.Serangan
balik dilancarkan oleh Raja Muda Mataram A.AGde Karangasem. Satu demi satu desa
diserang oleh Karangasem yang dilengkapi senjata bedil. Tiap desa yang dilalui
penduduknya dipaksa menjadi tameng. Sebagai prajurit profesional, mereka
tidak langsung menusuk ke jantung pertahanan Sakra, melainkan mengggelar
strategi Sapit Urang untuk mengepung Sakra.
Setelah melalui Rarang, Suradadi, Padamara, maka pangkalandi Kopang
dipindahkan ke Masbagik. Setelah itu menaklukan Penede Gandor, mereka pun
memasuki wilayah Surabaya. Meskipun PeSiraga Perkanggo Surabaya yang perkasa
itu melakukan perlawanan yang gagah berani, akan tetapi tidak berdaya
menghadapi pasukanyang lengkap bersenjata bedil. Keadaan itu memaksa Pe Siraga masuk
Sakra. Lokasi desa Sakra memang dipilih dengan pertahanan dikelilingi oleh kali yang dalam di
sebelah timur, sisi selatan dan barat.
Sedangkan di sebelah utara berderet bukit-bukit sebagai benteng alam.
Pasukan dari Kelungkung setelah menyapu Mujur,Ganti, dan Beleka maju
terus melalui Jerowaru dan Mendana. Lalu berhenti
berkemah di sebelah barat sebelah kali Palung yang dalam.Di sebelah
timur tepatnya di bukit Selong, berkemah para prajuritPagutan dan Pagesangan.
Barulah kemudian
pasukan induk menduduki bukit-bukit di
sebelah utara untuk perang urat saraf dimalam hari dengan menggelar pesta dan
mendatangkan penari Joget. A.A. Gde Karangasem menerapkan strategi Gelar Perang
Garuda Ngelayang. Para prajurit tameng yang terdiri dari orang-orang
Sasak,mereka juga ditugaskan untuk terus menerus membuat gangguan dengan
serbuan setiap hari. Pengepungan yang berbulan-bulan tanpa serangan
besar-besaran benar-benar menyebabkan prajurit Sakra menjadi frustasi. Orang
Sakra yang tidak mengerti strategi perangmerasa tak habis pikir ketika
siang dan malam pihak Bali terus menerus
menembakkan bedilnya, Pipian Langit, dan ditertawakan sebagai orang kaya yang
membuang-buang mesiu. Mereka tak mengerti strategi perang urat saraf
sementara bantuan yang diharapkan dari Goa dan Sumbawa tak kunjung datang
karenakurang koordinasi.Akhirnya prajurit Sakra tak punya pilihan lain kecuali
keluar mengamuk tanpa aturan melawan prajurit-prajurit Sasak sendiri yangdipergunakan
sebagai tameng hidup oleh prajurit Bali. Sementara orang Bali sendiri berada pada barisan belakang mempergunakan senjata
lengkap. Pada pertempuran tersebut, Raden Nuna Gede Lancung beserta saudaranya
gugur di sisi barat. Sementara di sebelahtimur yang dipertahankan oleh Raden
Benta, Raden Mombek, danRaden Bentabonter juga mengalami nasib yang sama.
Begitu pula dengan pasukan induk di sebelah utara, meskipun mampu merobohkan
begitu banyak prajurit-prajurit Bali akan tetapi jugamengalami nasib yang
sama.Setelah banyak prajurit-prajurit tangguh Sakra yang tewas, barulah
prajurit-prajurit Bali maju dan memasuki Sakra dengan
Membawa perlengkapan senjata lengkap. Puri yang
hanya tinggaldan dipertahankan oleh Pe' Siraga juga jebol dan diratakan
dengantanah. Seluruh bangsawan Sakra mati, kecuali para kanak-kanak yang
sebelumnya telah diungsikan ke Korleko. Pe Siraga sendiritewas sementara Raden Bini Ringgit menyiapkan
pusakanya danuntuk pertama kalinya meminta ampun kepada suaminya
sebelum puputan sabil. Raden Bini Ringgit meminta bantuan pada suaminya untuk
menyelamatkan anaknya yang masih bertempur di dalam desa,akan tetapi Karaeng
Manajai menemukan putranya sudah tewas.Pemban Bini Ringgit karena sudah sepuh
dan tua gagal puputan sabil, dengan mudah ia ditangkap dan ditahan
sebagaisandra yang sangat berharga di Taman
Kelepug (Mayura) dan didampingi oleh anak tirinya. Perang Sakra ini berlangsung
padatahun 1824-1828M meluluh
lantakkan Sakra. Perang ini disebut"Peresak". Kerajaan Sakra dianggap
runtuh dan hanya berumur 50tahun, terhitung sejak 1780 M hingga dengan 1828M. Setelahkekalahannya, pihak Sakra kemudian
menjalin dan membina hubungan baik dengan Kerajaan Karangasem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar